Lokasi El-Fasher dilihat dari citra satelit. Foto: EFE
Khartoum: Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter berhasil merebut kendali El Fasher, ibu kota Darfur Utara, Sudan setelah pengepungan selama 18 bulan yang mengakibatkan puluhan ribu warga sipil terjebak dalam kondisi mengenaskan.
Kemenangan strategis ini menjadikan RSF penguasa seluruh pusat perkotaan utama di Darfur, memicu kekhawatiran akan pecahnya Sudan dan mengulang tragedi genosida seperti di Rwanda.
Mengutip dari The Guardian, Kamis, 6 November 2025, dalam pernyataan pada Minggu, 2 November kemarin, RSF mengklaim telah "mengambil alih kendali kota El Fasher dari cengkeraman tentara bayaran dan milisi".
Panglima Angkatan Darat Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengonfirmasi mundurnya pasukan reguler ke "lokasi yang lebih aman", yang dianggap sebagai pengakuan taktis atas kekalahan.
Sejak pengambilalihan tersebut, RSF dituduh melakukan pembunuhan sistematis terhadap warga sipil tak bersenjata berdasarkan motif etnis.
Bukti kekejaman dan analisis satelit
Laboratorium Penelitian Kemanusiaan University of Yale dalam laporan terbarunya menyatakan tingkat kekerasan di El Fasher "sebanding dengan 24 jam pertama genosida Rwanda".
Tanpa kehadiran jurnalis internasional akibat pemblokiran komunikasi, analisis mengandalkan rekaman video yang kebanyakan direkam oleh RSF sendiri, kesaksian penyintas, dan citra satelit.
Tim Yale mengidentifikasi "proses pembersihan etnis yang sistematis dan disengaja terhadap komunitas asli non-Arab Fur, Zaghawa, dan Berti melalui pengusiran paksa dan eksekusi sewenang-wenang".
Citra satelit menunjukkan "kluster besar yang konsisten dengan mayat manusia dewasa dan perubahan warna merah di tanah", sementara video yang diverifikasi PBB memperlihatkan "puluhan pria tak bersenjata ditembak atau terbaring tewas, dikelilingi oleh pasukan RSF".
Akar konflik
RSF yang terbentuk dari sisa-sisa milisi Janjaweed pimpinan Omar al-Bashir, telah berkembang menjadi kekuatan paramiliter dengan jejak kekerasan yang panjang. Perang sipil April 2023 antara RSF dan tentara Sudan semakin mempertajam konflik etnis di Darfur, dengan kedua pihak dituduh melakukan kejahatan perang.
Komunitas internasional menghadapi kritik atas responsnya yang dianggap lambat. Konferensi London awal 2025 yang dihadiri 17 negara gagal menghasilkan solusi berarti, sementara Uni Emirat Arab dituduh mendukung RSF melalui penyelundupan senjata, klaim yang dibantah keras oleh UAE.
Kebuntuan politik ini memperpanjang penderitaan warga sipil Sudan yang terjebak dalam konflik bersenjata terparah dalam beberapa dekade terakhir.
(Muhammad Adyatma Damardjati)