17 Kasus Keracunan MBG di 10 Provinsi: Kontaminasi, SOP Lemah, hingga Perlu Evaluasi Dapur

Ilustrasi makan bergizi gratis/Medcom.id

17 Kasus Keracunan MBG di 10 Provinsi: Kontaminasi, SOP Lemah, hingga Perlu Evaluasi Dapur

M Rodhi Aulia • 15 May 2025 15:30

Jakarta: Polemik kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis data temuan lapangan. Hingga pertengahan Mei 2025, tercatat ada 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia.

Program MBG, yang diluncurkan pemerintah sebagai langkah strategis meningkatkan asupan gizi pelajar, justru mendapat sorotan setelah beberapa insiden berdampak pada kesehatan anak-anak sekolah. Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) dan BPOM kini menggelar evaluasi menyeluruh, mulai dari bahan baku, pengelolaan dapur, hingga distribusi makanan.

Kepala BPOM Taruna Ikrar secara terbuka menjelaskan sejumlah penyebab terjadinya keracunan massal dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI. Selain itu, Kepala BGN Dadan Hindayana turut menjelaskan secara rinci soal kasus yang terjadi di Bogor, termasuk faktor yang membedakan dengan daerah lain.

Untuk memahami duduk perkaranya secara utuh, berikut rangkuman tujuh fakta utama terkait kasus keracunan MBG sejauh ini:

1. 17 Kasus Keracunan Makanan MBG Tersebar di 10 Provinsi

Data BPOM mencatat total 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan yang berkaitan langsung dengan program MBG sepanjang 2025. Seluruh kejadian tersebut tercatat terjadi di 10 provinsi yang telah menjalankan program ini secara massal.

“Kejadian luar biasa keracunan pangan pada program MBG 2025 menurut data yang kami miliki ada 17 kejadian luar biasa keracunan pangan terkait dengan MBG di 10 provinsi yang teridentifikasi,” ungkap Kepala Badan POM Taruna Ikrar dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Kamis, 15 Mei 2025.

Baca juga: Paparan Kepala BGN Soal Kasus Keracunan MBG di Bogor hingga Terjadi KLB

Sebaran geografis kasus ini menunjukkan bahwa persoalan keracunan MBG bukanlah kejadian terlokalisasi, melainkan tantangan sistemik yang menyangkut rantai pasok makanan hingga pengawasan lintas sektor.

2. Kontaminasi Bahan Mentah Jadi Sumber Awal Masalah

Salah satu penyebab utama keracunan berasal dari kontaminasi pada bahan pangan mentah. Ikrar menyebut bahwa lingkungan pengelola makanan dan penjamin mutu juga menjadi titik krusial dalam rantai kontaminasi.

“Kontaminasi yang terlihat yaitu ada kontaminasi awal pangan, dengan sumber kontaminasi bahan mentah lingkungan pengelola, penjamin, dan kita belajar dari kondisi kejadian ini supaya berikutnya tidak terjadi lagi,” ujar Ikrar.

Ini berarti risiko bukan hanya dari makanan yang sudah jadi, tetapi sejak proses penerimaan dan penanganan bahan dasar. Kelemahan pada tahapan awal berpotensi menjadi pemicu besar jika tak segera dibenahi.

3. Penyimpanan Buruk dan Masak Terlalu Cepat Memicu Perkembangan Bakteri

Masalah tak berhenti di kontaminasi bahan mentah. BPOM juga menemukan bahwa proses penyimpanan makanan yang tidak sesuai standar menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berbahaya.

“Kita juga mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan akan bakteri seperti suhu, kondisi makanan, proses,” jelas Ikrar.

Ia mencontohkan kondisi makanan yang dimasak terburu-buru, namun distribusinya lambat. Hal itu menciptakan celah berkembangnya mikroorganisme yang berisiko tinggi jika dikonsumsi.

“Contohnya ada beberapa makanan dimasak terlalu cepat sehingga lambat distribusikan sehingga menimbulkan kejadian luar biasa pada anak-anak kita,” lanjutnya.

4. Standar Operasional Dapur MBG Dievaluasi Total

BPOM menilai dapur pengolahan MBG harus mendapat perhatian lebih dalam hal sanitasi, manajemen waktu, dan penjaminan mutu. Ikrar menyebut perlu dilakukan revisi SOP secara menyeluruh.

“Nah ini perlu kami jelaskan karena sebagian mungkin dapurnya itu perlu dievaluasi perlu diperbaiki. Badan POM berkomitmen untuk memberikan pendampingan pada petugas khususnya yang berhubungan dengan dapur,” ungkap Ikrar.

Komitmen BPOM tak hanya berhenti di evaluasi, melainkan menyertakan pendampingan teknis langsung kepada petugas dapur. Langkah ini dinilai penting untuk memutus rantai risiko dari hulu ke hilir.

5. Kasus Keracunan di Bogor Punya Pola yang Berbeda

Menurut Kepala BGN Dadan Hindayana, kejadian keracunan MBG di Bosowa Bina Insani, Bogor tergolong unik karena reaksi keracunannya muncul beberapa hari setelah konsumsi, berbeda dari pola umum yang muncul beberapa jam setelah makan.

“Sementara kasus di Bogor reaksinya lambat, makan hari Selasa, reaksinya baru diketahui hari Rabu dan peningkatan yang mengeluhnya justru terjadi di Kamis dan Jumat. Jadi ini sesuatu yang sangat berbeda,” ungkap Dadan.

Meski demikian, ia memastikan bahwa proyek MBG di sekolah tersebut pada dasarnya berjalan lancar sejak awal Januari. SPPG (Satuan Pelayanan Pengelolaan Gizi) di sekolah ini semula dianggap sebagai model percontohan nasional.

6. KLB di Bogor Ditetapkan Setelah Lonjakan Keluhan

Peningkatan jumlah siswa yang mengeluh sakit membuat Dinas Kesehatan Kota Bogor menetapkan kasus tersebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Status ini diperlukan agar respons darurat bisa segera dijalankan.

“Penting sekali penetapan KLB agar pemerintah daerah bisa menanani seluruh penerima manfaat yang berobat. Itu penetapan KLB,” ucap Dadan.

Dengan status KLB, pemerintah daerah dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih cepat untuk mengobati siswa yang terdampak, sekaligus melakukan investigasi lebih luas terhadap sumber keracunan.

7. E-Coli dan Salmonella Ditemukan di Makanan MBG Bogor

Pemeriksaan laboratorium mengungkap bahwa makanan MBG yang dikonsumsi siswa di Bogor terkontaminasi bakteri E. coli dan Salmonella. Sumbernya diduga berasal dari air, sayuran, atau bahan baku telur yang digunakan dalam pengolahan.

“BGN juga sudah melakukan cek lab bahwa penyebab keracunan para siswa di Bogor tersebut adalah kontaminasi salmonella dan e.coli dari bakteri di air atau bahan baku di telur dan juga ada di sayuran,” kata Dadan.

Meskipun siswa tidak merasakan gejala saat makan, hasil lab menunjukkan bahwa makanan sudah tercemar sejak awal. Temuan ini menjadi peringatan keras bahwa pengawasan terhadap bahan baku harus lebih ketat dan menyeluruh.

Fakta-fakta yang terungkap menunjukkan bahwa program MBG memiliki niat baik, namun masih menyimpan kelemahan pada tataran pelaksanaan. Dari kontaminasi bahan mentah hingga SOP dapur yang belum seragam, semua menjadi catatan penting bagi pemerintah. 

Evaluasi menyeluruh dan peningkatan kualitas pengawasan kini menjadi keniscayaan, agar program ini tidak justru menciptakan risiko kesehatan baru bagi anak-anak Indonesia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Rodhi Aulia)