Pekerja migran harus mendapat perlindungan usai moratorium PMI ke Timur Tengah dicabut. (Medcom.id)
Marcheilla Ariesta • 24 August 2023 11:36
Jakarta: Pemerintah Indonesia mencabut moratorium pekerja migran Indonesia (PMI) ke kawasan Timur Tengah. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar Negeri RI menegaskan, pentingnya perlindungan bagi PMI yang akan dikirim untuk bekerja di sektor domestik di negara-negara Timur Tengah.
“Yang paling utama setelah kebijakan ini (dicabut) adalah bagaimana kita bisa membuat jalur migrasi yang aman bagi pekerja migran sektor domestik yang akan berangkat ke Timur Tengah, karena itu akan menjadi bagian dari pembenahan tata kelola yang perlu kita lakukan,” ujar Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Kemenlu RI Judha Nugraha, Kamis, 24 Agustus 2023.
Dia mengatakan, Pemerintah Indonesia mengupayakan perubahan tata kelola untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi para pekerja migran di sektor domestik.
Perubahan tata kelola yang dimaksud yaitu Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK), yang antara lain mengatur pemindahan wewenang pihak penanggung (kafil) dari majikan perseorangan menjadi badan hukum.
Pasalnya, sistem kafalah yang berlaku di banyak negara Timur Tengah inilah yang menyebabkan maraknya kasus penyiksaan dan eksploitasi yang dialami pekerja migran Indonesia, hingga pemerintah memutuskan untuk memberlakukan moratorium pada 2015 silam.
“Banyaknya kasus yang terjadi di Timur Tengah kala itu terutama disebabkan oleh sistem kafalah yang menempatkan pekerja migran kita dalam posisi yang rentan tereksploitasi oleh majikan," ucap Judha.
Menurutnya, dengan sistem kafalah itu, nasib pekerja migran Indonesia betul-betul tergantung si majikan.
“Itulah sebabnya kita terapkan moratorium yang sudah berjalan dan kemudian dicabut pada hari ini,” kata dia.
Pencabutan tersebut berdasarkan keputusan Kementerian Ketenagakerjaan atas Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.
SPSK sendiri, ujar Judha, telah menyelenggarakan proyek percontohan di Arab Saudi melalui kesepakatan yang ditandatangani kedua negara pada 2018.
Jika penerapannya dinilai berhasil, maka sistem tersebut akan direplikasi ke 18 negara Timur Tengah lainnya, yang merupakan negara tujuan penempatan pekerja migran Indonesia sesuai Kepmenaker No.260/2015.
Keputusan ini diumumkan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya peningkatan tata kelola penempatan dan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Tujuan dari upaya ini adalah untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik dalam penempatan dan perlindungan bagi PMI.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menjelaskan bahwa beberapa perubahan telah dilakukan, salah satunya adalah mencabut Nomor 260 Tahun 2015 yang sebelumnya menghentikan dan melarang penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada individu-individu di negara-negara Timur Tengah.
"Pemerintah akan membuka kembali penempatan PMI di sektor domestik di negara-negara Timur Tengah dengan merujuk pada proses penempatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia," ujar Menaker Ida.
Ida menjelaskan bahwa sesuai dengan UU No 18/2017, penempatan PMI harus mematuhi beberapa ketentuan, antara lain, negara tujuan penempatan harus memiliki peraturan perlindungan tenaga kerja asing, harus ada perjanjian tertulis antara Pemerintah negara tujuan penempatan dan Pemerintah RI, serta adanya sistem jaminan sosial dan asuransi yang melindungi pekerja asing.
"Selain dari ketiga syarat tersebut, juga perlu adanya sebuah kesepakatan untuk memiliki sistem yang terintegrasi antara pemerintah Indonesia dengan negara tujuan di Timur Tengah," pungkasnya.