3 Sebab Munculnya Koalisi Gemuk dan Calon Tunggal

Peneliti Perludem Haykal. Foto: Tangkapan layar.

3 Sebab Munculnya Koalisi Gemuk dan Calon Tunggal

Siti Yona Hukmana • 8 September 2024 13:49

Jakarta: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut ada tiga penyebab terjadi koalisi gemuk dan calon tunggal di 41 daerah pada Pilkada 2024. Hal ini diketahui setelah Perludem menganalisa sejumlah fenomena yang terjadi.

"Pertama, partai politik cenderung berpikir pragmatis untuk mendapatkan, memenangkan yang pasti-pasti," kata Peneliti Perludem Haykal dalam diskusi daring bertema Pilkada Calon Tunggal dan Kemunduran Demokrasi Lokal di Indonesia, Minggu, 8 September 2024.

Haykal memandang hal tersebut terjadi karena adanya partai-partai besar yang lolos di parlemen dan juga memiliki jumlah suara uang cukup besar yang sangat signifikan memilih untuk berkoalisi. Sehingga, akumulasi dari sebaran atau perolehan suaranya mencapai lebih dari 30 atau 40 persen.

"Sehingga, partai-partai lainnya lebih memilih untuk kemudian bergabung kepada koalisi besar itu yang dalam tanda kutip sudah memiliki atau mengantongi modal politik yang cukup besar, sehingga sudah hampir pasti akan dipilih atau memiliki dukungan yang tinggi," ungkap Haykal.
 

Baca juga: Sebaran 41 Pilkada Lawan Kotak Kosong

Penyebab kedua, partai politik yang berkoalisi pascapilpres yang disebut Kim Plus cenderung membawa koalisi besarnya ke daerah yang pada saat ini memiliki calon tunggal. Meski ada beberapa partai politik di beberapa daerah memilih tidak bergabung dan mencalonkan pasangan calonnya sendiri.

"Seperti misalnya di Jakarta dan 41 daerah lainnya untuk mengusung pasangan calon kepala daerahnya sendiri," ungkapnya.

Terakhir kegagalan partai politik untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik. Sehingga, mereka tidak percaya diri atau tidak berani masuk ke dalam gelanggang kompetisi dan lebih memilih untuk gabung ke koalisi yang sudah besar.

"Padahal, kalau kita lihat berdasarkan data jumlah parpol di masing-masing daerah yang lolos ambang batas tadi sebenarnya partai politik punya kesempatan untuk melakukan hal itu untuk mendaftar kan pasangan calonnya secara mandiri," ucapnya.

Di samping itu, Haykal memandang masifnya pilkada melawan kontak kosong di daerah juga terjadi karena ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada masa pembukaan kembali pendaftaran. Hal itu ditandai dengan gagalnya sejumlah bakal pasangan calon (paslon) mendaftar selama masa perpanjangan.

"Dikarenakan alasan teknis, karena proses pencabutan dukungan partai politiknya itu bermasalah. KPU kemudian tidak secara siap membuka sistem informasi pencalonan yang menyebabkan beberapa partai politik tidak berhasil untuk menarik dukungannya terhadap calon tunggal untuk dipindahkan kepada bakal calon lain," ujarnya.

Seperti yang terjadi di Lampung timur, Tapanuli Tengah, Brebes, dan Banyumas. Permasalahan yang dihadapi yaitu sistem informasi pencalonan yang dimiliki KPU susah diakses, sehingga waktu pendaftaran ditutup dan tidak bisa mendaftar.

Permasalahan lain yaitu surat keterangan dari koalisi terhadap partai politik yang mencabut dukungan. Hal itu menyebabkan proses pencabutan dukungan untuk dipindahkan kepada pasangan calon yang lain menjadi tidak bisa dilakukan hingga batas waktu pendaftaran.

"Yang akhirnya Darmasraya walaupun sudah ada upaya dari beberapa partai politik untuk memindahkan dukungannya, namun gagal karena sistem yang disiapkan KPU tidak cukup baik dan juga tidak siap memproses perpindahan dukungan tersebut," tuturnya.

Perludem mencatat ada delapan partai politik yang sangat mendominasi untuk menjadi salah satu anggota dalam koalisi tunggal di 41 daerah. Seperti PKB 37 daerah, Partai Gerindra 40 daerah, PDIP 40 daerah, Partai Golkar 41 daerah, PAN 41 daerah, PKS 37 daerah, Partai NasDem 39 daerah, Partai Demokrat 37 daerah, dan PPP 29 daerah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)