Dewan Redaksi Media Group, Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.
SAAT membaca artikel soal kearifan lokal, saya kian takjub dengan negeri ini. Bagaimana tidak? Beragam kearifan lokal itu kiranya sebuah bentuk peradaban tinggi manusia untuk memperlakukan alam dan lingkungan. Ia wujud nyata 'menyatunya' manusia dan semesta.
Tengoklah adat sasi. Tradisi kearifan lokal masyarakat Maluku yang turun-temurun itu berisi larangan pengambilan hasil alam (memanen) dalam jangka waktu tertentu. Tradisi ini bertujuan menjaga kelestarian alam dan keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual. Hebatnya lagi, tradisi itu bermula dari bawah, melalui musyawarah atau konsensus.
Musyawarah dilakukan untuk menentukan waktu yang dilarang mengambil hasil alam, baik hasil pertanian maupun kelautan. Mengapa ada sasi? Tak lain dan tak bukan untuk memastikan sumber daya alam dapat berdaya guna dan lestari. Juga untuk memastikan masyarakat dapat memanfaatkan hasil alam secara merata.
Pelaksanaan sasi secara adat ditentukan hasil rapat Saniri (dewan adat). Pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan dikenai sanksi, bisa berdasarkan keyakinan spiritual dan sanksi masyarakat. Itulah sasi, penjaga alam sekaligus pengerem hasrat kerakusan manusia.
Negeri ini juga mengenal berbagai adat dan tradisi yang diwariskan serta dijaga turun-temurun. Dari waktu ke waktu, masyarakat di Jawa mengenal tradisi bersih desa, bersih makam, juga
gumbrengan. Tradisi-tradisi itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian alam.
Ada konsep
leuweung kolot. Konsep itu bertujuan melindungi alam, mirip dengan konsep hutan lindung. Dalam konsep itu, ada larangan untuk membuka hutan tanpa izin dari ketua adat.
Ada juga tradisi
tamarjan, yakni tampungan air di depan rumah untuk menampung air hujan. Selain dimanfaatkan ketika terjadi kekeringan, penampung air mengurangi risiko genangan yang berpotensi mendatangkan banjir.
Di Jawa ada juga gugur gunung, yang dilakukan dengan merawat pohon-pohon berusia puluhan tahun di permakaman. Ada pula
nyadran kali dan
nyadran gunung.
Nyadran kali dilakukan dengan membersihkan mata air, sedangkan nyadran gunung dilakukan dengan tidak menebang pohon di lereng gunung.
Itulah bentuk penghormatan masyarakat adat di berbagai wilayah di Nusantara terhadap alam. Penghormatan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan melalui alam.
Karena itu, rasa hormat itu akan tercabik-cabik bila ada tangan-tangan kuasa yang, atas nama pembangunan, merusak kearifan lokal mereka. Hati masyarakat adat akan remuk redam bila demi mengejar 'kemajuan', tanah dan hak-hak adat dirampas.
Wajar belaka bila konstitusi kita, UUD 1945, mengakui hak-hak masyarakat adat itu. Pengakuan itu bentuk nyata bahwa negara tidak lupa akan asal-usulnya. Negeri ini terbentuk atas embrio kehidupan yang sudah ada lebih dahulu dari rupa-rupa kearifan lokal itu. Kearifan itu pula yang akhirnya mengikatkan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu, amat aneh jika para punggawa negeri ini seperti ogah-ogahan mengakui dan melindungi masyarakat adat dengan beragam kearifan lokal mereka itu. Mana buktinya? Tengoklah fakta sudah 14 tahun Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat tak kunjung dilegalkan.
Kata pakar antropologi hukum Unair Surabaya Sri Endah Kinasih dalam sebuah kesempatan, hal itu menunjukkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tidak dianggap penting. Masyarakat adat dianggap kuno. Padahal, masyarakat adat punya nilai-niliai religiomagis yang mereka pertahankan. Itu yang tidak dipahami pemerintah dan para wakil rakyat.
RUU Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat merupakan rancangan undang-undang yang telah diusung sejak 2003, dan dirumuskan naskah akademiknya pada 2010. Sengketa-sengketa yang terjadi selama ini pun akibat dari tidak disahkannya RUU tersebut.
Saya sepakat dengan pendapat itu. Negara tampak benderang belum memahami konsep-konsep dalam masyarakat adat. Pelibatan tokoh-tokoh dan masyarakat adat dalam berbagai pembangunan juga amat minim. UU yang mengakui dan melindungi masyarakat adat itu tidak jalan karena ruang partisipasi yang nyaris tersumbat itu.
Kepentingan negara seolah-olah menggusur kepentingan masyarakat adat. Padahal, seharusnya setiap denyut napas dan gerak pembangunan dilakukan dengan proses dialog, termasuk ke masyarakat adat. Termasuk juga mendialogkan potensi punahnya 21 etnik akibat pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Semoga ada ruang tersisa untuk memenuhi janji.