Keluhan APSyFI soal 250 Ribu PHK Industri Tekstil Perlu Dicermati

Ilustrasi industri tekstil. Foto: Dokumen Kemenperin

Keluhan APSyFI soal 250 Ribu PHK Industri Tekstil Perlu Dicermati

Naufal Zuhdi • 19 December 2024 11:13

Jakarta: Keluhan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) terkait impor ilegal menjadi penyebab pemburukan kondisi industri tekstil Tanah Air akan dicermati.
 
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer. Dia juga menyebut produk impor ilegal itu pantas dicermati serta dicari tahu apakah benar atau salah.
 
“Atas keluhan APSyFI semua pihak sebaiknya bijaksana, mencari tahu apakah keluhan ini benar atau tidak. Kalau benar, perlu kerja sama semua pihak, sebab impor illegal menyangkut kehidupan buruh,” kata pria yang akrab disapa Noel dilansir Media Indonesia, Kamis, 19 Desember 2024.
 
Noel menegaskan, pihaknya tidak mempunyai wewenang untuk menindak masalah yang dikeluhkan APSyFI. Akan tetapi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) hanya mengurusi pekerja/buruh.
 
“Kami hanya bisa mengatakan, keluhan APSyFI pantas dicermati semua pihak. Kalau salah kita pantas mengingatkan APSyFI. Tetapi kalau benar, semua pihak perlu bekerja sama untuk mengakhiri impor illegal yang melemahkan lapangan kerja,” jelas dia.
 
Baca juga: 

250 Ribu Karyawan Kena PHK Imbas 60 Perusahaan Tekstil Gulung Tikar



Ilustrasi PHK. Foto: Medcom.id
 
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, sepanjang dua tahun terakhir, impor illegal membanjiri pasar domestik.
 
“Hingga tahun 2024, 60 pabrik tutup, 250.000 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” ucap Redma.
 
Menurutnya, pada 2021 ketika covid-19 sedang melanda, impor dari Tiongkok sempat dihentikan. Namun ketika kebijakan lockdown berakhir dan impor dari Tiongkok dibuka kembali, produk ilegal kembali membanjiri pasar.
 
Impor ilegal bukan hanya melemahkan TPT, tetapi juga industri petrokimia bahan baku utama tekstil, yaitu Purified Terephthalic Acid (PTA). Ia menilai kondisi ini bisa memicu Indonesia memasuki deindustrialisasi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Annisa Ayu)