Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.
Abdul Kohar • 28 August 2024 05:35
SEPULUH tahun yang lalu, slogan 'Jokowi adalah Kita' mampu menyihir banyak kalangan di Tanah Air. Hasilnya, Jokowi pun terpilih sebagai Presiden Ketujuh RI. Slogan itu maknanya, kira-kira, Jokowi tak ubahnya rakyat Indonesia kebanyakan: yang tidak rikuh makan di warung tenda, yang tidak menyemprot tangan dengan antiseptik setelah salaman, yang outfit-nya seperti kebanyakan rakyat jelata.
Hingga naik ke tampuk kekuasaan, Jokowi tak beringsut. Ia tak hendak mengubah 'performanya' seperti priayi atau ningrat. Ia masih rajin blusukan, bisa tiba-tiba turun dari mobil untuk menyalami rakyat di pinggir jalan, bahkan melayani kepungan untuk berswafoto. Karena itu, ia makin didukung dan dipercaya untuk menjadi presiden pada periode berikutnya.
Hingga suatu ketika, tahun berganti. Hidup memang dinamis, tidak statis. Ada yang bilang, hidup itu seperti cokro manggilingan, mirip roda berputar, kadang di atas, suatu saat di bawah. Ketika sudah di atas hampir satu dekade, orang mulai melihat Jokowi berubah. Ia dinilai mulai terlalu kuat menggenggam kekuasaan. Malah, ada yang menyebutnya: membangun kartel kekuasaan. Segala pujian yang disematkan pun, oleh banyak kalangan, mulai ditarik. Saya sedih, saat banyak orang mulai berkata 'Jokowi bukan kita'.
Orang ramai mulai menganulir simpati. Sebagian mereka bahkan menyampaikan sumpah serapah. Kesedihan saya berpangkal pada kebiasaan di negeri ini yang amat cepat menarik batas antara cinta dan benci. Antara memuji dan memaki seperti setipis kulit bawang.
Saya, kok, jadi ingat sejarah bagaimana Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, dan Presiden Abdurrahman Wahid 'diperlakukan' pada akhir jabatan mereka. Semuanya pernah diangkat setinggi bintang, lalu diempaskan sedalam-dalamnya. Semua seolah ingin menganulir pernah 'mencintai' mereka. Semua seperti hendak berseru seperti pelesetan judul lagu grup band Naif: Benci (Pernah) Mencinta.
Tidak semua, memang, mengubah haluan dari cinta menjadi benci. Di pembukaan Kongres III Partai NasDem, Minggu (25/8), di Jakarta, dua sosok sahabat lama yang akhir-akhir ini 'bersimpang pilihan jalan' justru menunjukkan bagaimana relasi persahabatan itu tidak melulu benci dan cinta. Ada rasa hormat di kamus persahabatan walau tidak selamanya jalan beriringan.
Baca juga: Surya Paloh: Jokowi Tetap Sahabat NasDem hingga Akhir Masa Bakti |