Jakarta: Harga komoditas energi Indonesia tahun ini, terutama di kuartal kedua, terlihat sudah mengalami
rebound walaupun terbatas.
Hal Ini terlihat pada harga komoditas utama ekspor baik itu sawit yang tumbuh 3,4 persen, gas 7,0 persen, dan batu bara yang tumbuh 12,9 persen.
"Termasuk juga di besi dan baja yang tumbuh 11,9 persen, ini semestinya akan meningkatkan performa ekspor kita. Ternyata ketika harga komoditas, terutama komoditas andalan ekspor kita mengalami rebound, pertumbuhan ekspor masih sangat lambat sejak tahun lalu," ucap Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CoRE), Mohammad Faisal dalam acara Midyear Review CoRE Indonesia dilansir Media Indonesia, Selasa, 23 Juli 2024.
Pertumbuhan ekspor Indonesia sampai dengan kuartal kedua tahun ini tercatat -3,5 persen secara year on year. Angka ini berada di bawah pertumbuhan negara-negara lain seperti Malaysia Thailand, Tiongkok, Amerika dan juga India.
"Salah satu penyebab kenapa ekspor kita lambat dalam pandangan kami adalah kita punya ketergantungan ekspor yang besar terhadap Tiongkok. Padahal permintaan domestik Tiongkok sangat rendah dan berdampak terhadap penurunan impor mereka. Nah ini mempengaruhi ekspor kita ke Tiongkok," ungkap dia.
Indonesia ketergantungan tinggi dengan ekspor pasar Tiongkok
Indonesia, sambung Faisal, memiliki ketergantungan yang tinggi soal ekspor terhadap pasar Tiongkok. Berbeda dengan negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina yang mana tingkat ketergantungan mereka terhadap pasar Tiongkok untuk ekspor itu tidak sebesar Indonesia.
"Kita sampai dengan 2024 Indonesia proporsi daripada ekspor ke Tiongkok 22,5 persen, sementara negara-negara tetangga tadi masih di antara 10-12 persen. Ketika ketergantungan ekspornya ini sangat tinggi dan pada saat yang sama negara tujuan ekspor Tiongkok mengalami kelemahan permintaan, maka akan berpengaruh terhadap kinerja ekspor kita itu sebabnya makanya tadi ekspornya berjalan lambat," beber dia.
Ia mengatakan, perlambatan ini terjadi pada berbagai macam andalan ekspor Indonesia terutama di sektor manufaktur. Sampai dengan kuartal kedua, ekspor Indonesia ke Tiongkok terus mengalami kontraksi di angka minus 26,9 persen.
"Yang naik itu hanya ekspor komoditas bahan bakar mineral ya dan juga CPO. Jadi yang manufaktur yang seharusnya kita harus dorong itu malah kontraksi," tutur dia.
Di sisi lain, Faisal mencatat impor dari Tiongkok justru kembali meningkat di awal 2024 terutama di kuartal kedua. Salah satunya adalah impor tekstil dan produk tekstil (TPT).
"Impor dari Tiongkok mencapai 35,5 persen persen di kuartal kedua ini padahal ekspornya jauh lebih rendah dibanding itu ke China hanya 2,6 persen. Pangsa pasar daripada impor dari Tiongkok di pasar Indonesia itu 41 persen untuk produk-produk tekstil dan dan pakaian jadi umumnya," ucap dia.