Ki Hadjar Dewantara. DOK: fahum.umsu.ac.id
Ahmad Mustaqim • 28 October 2025 06:36
Yogyakarta: Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai momen penting persatuan bangsa. Di balik tokoh-tokoh yang tampil seperti Soegondo Djojopoespito dan Mohammad Yamin, tersembunyi peran vital Ki Hadjar Dewantara yang jarak terungkap.
Cucu ke-14 Ki Hadjar Dewantara, Nanang Rekto Wulanjaya, mengungkapkan kakeknya menjadi motor penggerak di balik layar peristiwa bersejarah tersebut. Pemikiran Ki Hadjar tentang nasionalisme menjadi fondasi kuat yang mendasari ikrar pemuda Indonesia.
"Ki Hadjar itu di Nederlandsch Indië, dari buletin Belanda terbitan tahun ke-3 (medio 1850an) itu di awal artikelnya menulis tanpa ragu, 'Saya berani, tanpa ragu, saya berani menyatakan bahwa negaranya adalah Indische, nasional'," kata Nanang ditemui di kawasan Wirobrajan, Kota Yogyakarta, Senin, 27 Oktober 2025.
Jiwa nasionalisme Ki Hadjar Dewantara tidak muncul tiba-tiba. Sejak awal abad ke-20, ia aktif dalam organisasi pergerakan seperti Budi Utomo dan Indische Partij. Pemikirannya tentang kebangsaan menjadi inspirasi bagi generasi muda saat itu.
Nanang menjelaskan Ki Hadjar percaya pendidikan nasional menjadi kunci mencetak generasi yang mencintai bangsanya. Prinsip ini yang kemudian mendasari sistem pendidikan Taman Siswa yang didirikannya.
"Dan kata-kata fenomenalnya yang dicatat oleh para aktivis itu adalah 'Kalau pengajaran bagi anak-anak tidak berdasar kenasionalan, anak-anak tak mungkin mau punya rasa cinta bangsa dan makin terpisah dari bangsanya'," kata Nanang.

Museum Sumpah Pemuda. Foto: muspada.kemenbud
Salah satu kontribusi terbesar Ki Hadjar adalah dalam penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ia terlibat perdebatan serius dengan sahabatnya, Cipto Mangunkusumo, mengenai pilihan bahasa yang tepat untuk mempersatukan bangsa.
Cipto Mangunkusumo mengusulkan penggunaan bahasa daerah, sementara Ki Hadjar bersikukuh pada Bahasa Melayu Riau sebagai lingua franca yang lebih tepat. Bahasa Melayu dinilai lebih mudah dipelajari dan sudah digunakan luas di nusantara.
"Tetapi karena dari dulu, seawal dulu, lingua franca nasional digunakan Melayu Riau, maka Ki Hadjar mengusulkan Bahasa Melayu Riau itu yang kemudian diadopsi, disempurnakan menjadi Bahasa Indonesia," jelas Nanang.
Pemikiran Ki Hadjar tentang Bahasa Indonesia tercatat dalam buku Kebudayaan (2013). Ia menegaskan bahasa Indonesia berhak menjadi bahasa persatuan karena mampu mempersatukan keragaman suku bangsa.
Ki Hadjar Dewantara mengembangkan konsep nasionalisme yang tidak sempit. Ia menekankan bahwa kebudayaan daerah justru harus dilestarikan sebagai penyumbang kekayaan budaya nasional.
"Jadi, nasionalisme yang tidak sempit. Jadi, kebudayaan nasional tidak boleh menyampaikan kebudayaan daerah, melainkan kebudayaan daerah puncaknya itu menyumbang kebudayaan Indonesia," ucap Nanang.
Pemikiran inklusif ini yang membuat Ki Hadjar mampu menyatukan berbagai golongan. Meski mendorong bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, ia tetap menghargai dan memajukan bahasa serta budaya daerah.

Cucu ke-14 Ki Hadjar Dewantara, Nanang Rekto Wulanjaya. Metrotvnews.com/Ahmad Mustaqim3
Kontribusi Ki Hadjar Dewantara tidak hanya berhenti pada Sumpah Pemuda. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan dan kebangsaan terus relevan hingga saat ini. Sistem among yang dikembangkannya menjadi dasar pendidikan karakter di Indonesia.
Perjuangan Ki Hadjar mengajarkan bahwa nasionalisme harus dibangun dari kesadaran, bukan paksaan. Semangat inilah yang kemudian menginspirasi generasi muda 1928 untuk bersumpah setia pada tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan.
Warisan terbesar Ki Hadjar adalah pemikiran visioner tentang Indonesia yang bersatu dalam keragaman. Konsep nasionalisme inklusifnya menjadi penyeimbang dalam membangun identitas bangsa yang majemuk.
Ki Hadjar Dewantara mungkin tidak tercatat sebagai salah satu penandatangan naskah Sumpah Pemuda, namun semangat dan pemikirannya menjadi roh yang menghidupkan ikrar bersejarah tersebut. Perannya sebagai arsitek di balik layar membuktikan bahwa kontribusi terbesar tidak selalu harus tampil di depan.
Pemikiran Ki Hadjar tentang nasionalisme, pendidikan, dan kebudayaan terus menjadi fondasi bangunan Indonesia modern. Warisan intelektualnya mengajarkan bahwa persatuan harus dibangun dengan menghargai perbedaan, bukan menyeragamkannya.