Ilustrasi, kelapa sawit. Foto: pkt-group.com
Jakarta: Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) berharap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meninjau ulang kebijakan pajak dan pungutan ekspor sawit. Kebijakan saat ini dinilai memberatkan kehidupan 3,5 juta petani kelapa sawit.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin, menyatakan petani sawit saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang berat akibat mahalnya harga pupuk dan bahan makanan. Belum lagi rendahnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) yang terdistorsi oleh Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) yang dikenakan pada ekspor Crude Palm Oil (CPO).
"Sementara Dana pungutan sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), sebesar 90 persen hanya digunakan untuk menyubsidi harga biodiesel, sehingga hanya menguntungkan industri minyak sawit besar yang memiliki pabrik biodiesel,” tegas Sabarudin dalam keterangannya, Selasa, 23 September 2025.
Sejak perubahan aturan pungutan sawit pada 2015, kata dia, sebagian besar dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) tidak menyentuh kebutuhan langsung petani. Bahkan, kenaikan satu persen PE dapat menurunkan harga TBS sebesar Rp300 hingga Rp500 per kilogram.
Tambahan alokasi subsidi biodiesel B40
Ia menyebut Kementerian ESDM baru-baru ini mengumumkan tambahan alokasi subsidi biodiesel B40 sebesar Rp16 triliun untuk tahun ini, dengan prediksi kebutuhan dana subsidi mencapai Rp67 triliun pada 2025. SPKS menilai insentif ini hanya menguntungkan sektor Public Service Obligation (PSO) dan tidak berdampak langsung pada kesejahteraan petani.
"Di mana keadilan hidup bagi petani
kelapa sawit? Jika dana PE hanya dipergunakan bagi subsidi biodiesel, sementara petani masih tersandera kenaikan harga makanan dan pupuk," ujar Sabarudin.
SPKS berharap Purbaya dapat meninjau ulang efektivitas BK dan PE sawit, serta mengalokasikan dana pungutan secara lebih adil. Dukungan Presiden Prabowo Subianto juga dinilai krusial untuk menata ulang regulasi yang selama ini menghimpit pertumbuhan usaha perkebunan kelapa sawit nasional.
"Kami berharap Presiden Prabowo dapat melihat langsung kondisi 14 juta rakyatnya yang menggantungkan hidup pada sektor sawit, namun kian terhimpit hidupnya," ujar Sabarudin.
Dengan 42 persen dari total luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional dikelola oleh petani, SPKS mencatat bahwa sekitar 7,2 juta hektare lahan dan 3,57 juta keluarga bergantung pada sektor ini. Totalnya, sekitar 14,3 juta jiwa membutuhkan keadilan dari pemerintah.
"Kami mengusulkan agar dana sawit yang dikelola BPDP digunakan langsung untuk sarana dan prasarana petani, seperti penyediaan pupuk, perbaikan jalan kebun, dan dukungan alat-alat transportasi untuk petani. Serta insentif harga jual TBS yang menyuplai kebutuhan biodiesel nasional," tutur Sabarudin.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Istimewa.
Bermitra langsung dengan petani
Sebelumnya, SPKS mendesak pemerintah agar transisi program biodiesel nasional, dari B40 di 2025 menuju B50 pada awal 2026, dibarengi dengan regulasi yang mewajibkan perusahaan penerima subsidi bermitra langsung dengan petani sawit.
"Kami harap pemerintah mewajibkan perusahaan penerima subsidi untuk bermitra langsung dengan petani, karena dana subsidi itu berasal dari pungutan petani sendiri," kata Sabaruddin.
Sabarudin menambahkan, kemitraan yang diatur secara adil akan menciptakan harga tandan buah segar (TBS) yang layak. Sekaligus, mengurangi ketergantungan petani pada tengkulak, serta mendorong penguatan koperasi petani.