Seorang prajurit Israel lakukan penjagaan di Gaza. Foto: Anadolu
Fajar Nugraha • 27 August 2025 15:06
Gaza: Gereja yang tersisa di Gaza memilih untuk tidak meninggalkan lokasi, meskipun menghadapi tekanan militer Israel dan ancaman kehancuran terhadap kota tersebut. Para rohaniwan dan biarawati menyatakan dalam pernyataan bersama kepada Israeli Defense Forces (IDF) bahwa mereka akan “tetap tinggal dan terus merawat semua yang berada di kompleks gereja.”
“Ratusan warga sipil telah mencari perlindungan di kompleks Gereja Ortodoks Yunani Santo Porphyrius dan Keluarga Kudus sejak pecahnya perang dan Kompleks Gereja Latin telah menampung para penyandang disabilitas yang berada di bawah perawatan Suster Misionaris Cinta Kasih selama bertahun-tahun,” ujar Patriarkat Gereja Ortodoks Yunani Yerusalem dan Patriarkat Gereja Latin Yerusalem, dalam sebuah pernyataan pada Selasa, yang dikutip dari ABC News, Rabu 27 Agustus 2025.
Para pengungsi yang tinggal di fasilitas tersebut harus memutuskan sesuai hati Nurani mereka, apa yang akan mereka lakukan. Diantara mereka yang mencari perlindungan di dalam kompleks, banyak yang lemah dan kekurangan gizi akibat mencoba melarikan diri ke selatan sama saja dengan hukuman mati. Karena alasan ini, para pendeta dan biarawati telah memutuskan untuk tetap tinggal dan terus merawat semua orang yang berbeda di kompleks tersebut, demikian pernyataan gereja.
Menteri Pertahanan Israel, Katz, pada Minggu lalu, memperingatkan bahwa Kota Gaza dapat “berubah menjadi Rafah dan Beit Hanoun” wilayah yang telah hancur sebelumnya dalam perang, kecuali Hamas menyetujui persyaratan gencatan senjata Israel, ini terjadi setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dia akan menyetujui rencana Israeli Defense Forces (IDF), untuk merebut Kota Gaza.
Gereja mengkritik rencana Israel sehubungan dengan keputusannya untuk menguasai Kota Gaza, dengan mengatakan “tidak ada nada masa depan yang didasarkan pada penahanan, pemindahan warga Palestina, atau balas dendam.”
“Kami menggaungkan apa yang dikatakan Paus Leo XIV beberapa hari yang lalu: 'Semua bangsa, bahkan yang terkecil dan terlemah sekalipun, harus dihormati oleh yang berkuasa atas identitas dan hak-hak mereka, terutama hak untuk hidup di tanah mereka sendiri; dan tidak seorang pun dapat memaksa mereka ke pengasingan,” demikian pernyataan dari Gereja.
Gereja tersebut menyerukan berakhirnya perang dan “spiral kekerasan.” Mereka menegaskan bahwa kehancuran telah terlalu banyak terjadi, dan tidak ada alasan untuk terus menjadikan warga sipil sebagai tahanan atau sandera dalam kondisi dramatis. “Kini saatnya untuk penyembuhan bagi keluarga yang menderita di kedua belah pihak.”
Menurut Juru Bicara Israeli Defense Forces (IDF), Eddie Defrin dan Pejabat Militer Israel mengatakan bahwa “Israel memulai tahap pertama serangannya terhadap Kota Gaza minggu lalu, memanggil 50.000 hingga 60.000 tentara cadangan untuk operasi pendudukan Kota Gaza.”
Aksi protes besar terjadi di berbagai kota Israel pada Selasa, menuntut pemerintah segera mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza yang mencakup pembebasan sandera yang masih ditahan.
Di sisi lain, Israel mendapat kecaman usai serangan ke sebuah rumah sakit di Khan Younis pada Senin yang menewaskan lima jurnalis dan 15 tenaga medis, menurut keterangan organisasi media dan Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.
Netanyahu menyebut serangan itu sebagai “kecelakaan tragis,” Israeli Defense Forces (IDF) merilis laporan awal pada hari Selasa, yang menyimpulkan bahwa “enam orang tewas adalah teroris, salah satunya terlibat dalam infiltrasi ke wilayah Israel pada 7 Oktober.”
(Muhammad Fauzan)