Ilustrasi. Foto: RBS.
Jakarta: Bank Dunia memperkirakan Asia Selatan akan tumbuh sebesar 5,8 persen di tahun ini, lebih tinggi dibandingkan kawasan negara berkembang lainnya di dunia. Namun demikian, ramalan tersebut lebih lambat dibandingkan sebelum pandemi dan tidak cukup cepat untuk mencapai tujuan pembangunannya.
Dalam laporannya, Bank Dunia juga memperkirakan pertumbuhan Asia Selatan akan melambat menjadi 5,6 persen pada 2024 dan 2025. Ini terjadi karena pemulihan pascapandemi memudar dan kombinasi pengetatan moneter, konsolidasi fiskal, serta berkurangnya permintaan global membebani aktivitas perekonomian.
Prospek pertumbuhan sendiri memiliki risiko penurunan, termasuk karena melemahnya posisi fiskal. Utang pemerintah di negara-negara Asia Selatan rata-rata mencapai 86 persen PDB pada 2022, sehingga meningkatkan risiko gagal bayar, biaya pinjaman, serta mengalihkan kredit dari sektor swasta.
Wilayah ini juga dapat terkena dampak dari perlambatan lebih lanjut dalam pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan bencana alam yang semakin sering terjadi dan intens akibat perubahan iklim.
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Selatan Martin Raiser mengatakan, meski Asia Selatan mengalami kemajuan yang stabil, sebagian besar negara di kawasan ini tidak tumbuh cukup cepat untuk mencapai ambang batas pendapatan tinggi dalam satu generasi.
"Negara-negara (Asia Selatan) perlu segera mengelola risiko fiskal dan fokus pada langkah-langkah untuk mempercepat pertumbuhan, termasuk dengan meningkatkan investasi sektor swasta dan memanfaatkan peluang yang diciptakan oleh transisi energi global," kata Martin, Rabu, 4 Oktober 2023.
India diperkirakan tumbuh 6,3%
Di India, yang menyumbang sebagian besar perekonomian di kawasan ini, pertumbuhannya diperkirakan akan tetap kuat sebesar 6,3 persen pada keseluruhan tahun 2023/2024. Sementara output di Maladewa diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,5 persen pada 2023 dan di Nepal diperkirakan akan meningkat menjadi 3,9 persen pada 2023/2024, berkat peningkatan kuat dalam pariwisata di kedua negara.
Beberapa negara di kawasan ini masih menderita akibat krisis mata uang yang terjadi baru-baru ini. Di Bangladesh, pertumbuhan akan melambat menjadi 5,6 persen pada keseluruhan 2023/2024. Di Pakistan, pertumbuhan diperkirakan hanya 1,7 persen pada anggaran 2023/2024, di bawah laju pertumbuhan populasi.
Sri Lanka menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah resesi parah dan perekonomian diperkirakan tumbuh sebesar 1,7 persen pada 2024, setelah mengalami kontraksi sebesar 3,8 persen pada tahun ini.
Karena terkendala oleh tantangan fiskal, pemerintah mempunyai ruang terbatas untuk membantu perekonomian mereka memanfaatkan sepenuhnya transisi energi global.
Meski sering kali dipandang sebagai beban tambahan bagi negara-negara berkembang, bagi Asia Selatan,
transisi energi dapat memberikan peluang bagi pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja di masa depan, jika hal ini menghasilkan lebih banyak investasi oleh perusahaan, mengurangi polusi udara, dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar.
Bahkan dengan ruang fiskal yang terbatas, negara-negara dapat mendorong perusahaan untuk mengadopsi teknologi yang lebih hemat energi melalui peraturan berbasis pasar, kampanye informasi, akses yang lebih luas terhadap keuangan, dan jaringan listrik yang andal.
Baca juga: Bank Dunia Revisi Naik Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 5% Tahun Ini
Manfaatkan transisi energi
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Selatan Franziska Ohnsorge mengatakan, intensitas produksi energi di Asia Selatan sekitar dua kali lipat rata-rata global dan kawasan ini tertinggal dalam penerapan teknologi hemat energi yang lebih maju.
"Peningkatan efisiensi energi, dalam konteks transisi energi global yang cepat, merupakan peluang bagi Asia Selatan untuk mencapai kemajuan dalam mencapai tujuan lingkungan dan ekonomi," kata Franziska.
Transisi energi juga akan berdampak signifikan terhadap pasar tenaga kerja di Asia Selatan. Hampir sepersepuluh pekerja di kawasan ini bekerja pada pekerjaan yang banyak menimbulkan polusi.
Pekerjaan-pekerjaan ini terkonsentrasi pada pekerja berketerampilan rendah dan pekerja informal yang lebih rentan terhadap perubahan pasar tenaga kerja.
Meski transisi energi dapat membantu menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, hal ini juga dapat membuat sebagian pekerja terdampar di industri yang sedang mengalami penurunan.
Laporan ini merekomendasikan serangkaian kebijakan untuk melindungi pekerja tersebut, termasuk memberikan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan pelatihan berkualitas tinggi, keuangan, dan pasar, memfasilitasi mobilitas pekerja, dan memperkuat jaring pengaman sosial.