KPU Kukar Diminta Ikuti Putusan MK Terkait Masa Jabatan Kepala Daerah

Ilustrasi. Medcom.id

KPU Kukar Diminta Ikuti Putusan MK Terkait Masa Jabatan Kepala Daerah

Deny Irwanto • 9 December 2024 19:58

Jakarta: Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta menegakkan hukum dalam Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) 2024 terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 129/PUU-XII/2024 tentang penghitungan masa jabatan kepala daerah.

Dalam putusan yang dikeluarkan pada Kamis, 14 November 2024, calon bupati Kutai Kartanegara Edi Darmansyah dinilai sudah menjadi bupati selama dua periode. Yakni Edi pernah menjadi pelaksana tugas bupati menggantikan Rita Widyasari pada 2017 dan telah ditetapkan menjadi bupati definitif pada 2019-2021.
 

Baca: Melki-Johni Menang Pilgub NTT
 
Kemudian Edi terpilih dalam pilkada berikutnya dan menjabat selama lima periode. Pengamat politik dan penggiat demokratis, Arief Poyuono, meminta KPU menjalankan putusan MK terkait pencalonan Edi. Apalagi, judicial review petahana dengan perkara Nomor 2/PUU-XXI/2023 pada 28 Februari 2023, telah ditolak MK. 

"Karena telah dianggap menjabat dua periode. MK dalam putusannya menyatakan masa jabatannya sebagai Plt Bupati maupun Bupati definitif Kutai Kartanegara menggantikan Rita Widyasari pada masa bakti 2016-2021 telah dihitung sebagai satu periode penuh," kata Arief dalam keterangan tertulis, Senin, 9 Desember 2024.

Hal itu, kata Arief, diperkuat dengan Putusan MK Nomor 129/PUU-XXII/2024. MK menolak memberikan tafsir baru mengenai cara penghitungan dua periode masa jabatan kepala daerah seperti yang dimohonkan oleh kuasa hukum pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bengkulu, Helmi-Mian, serta pasangan calon bupati dan wakil bupati Bengkulu Selatan, Elva-Rizal.

"MK kembali menegaskan makna masa jabatan telah dijelaskan dalam Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023, di mana masa jabatan dihitung satu periode penuh jika kepala daerah telah menjabat setengah atau lebih dari masa jabatannya, baik secara definitif maupun sebagai pejabat sementara (Plt)," ungkap Arief. 

Arief memerinci inti Putusan MK Nomor 129/PUU-XXII/2024 adalah memperkuat tiga putusan sebelumnya yakni Putusan MK Nomor 22/2009, 67/2020, dan 2/2023. 

"Gugatan yang diajukan oleh kuasa hukum Helmi-Mian dan Elva-Rizal pada dasarnya meminta MK memberikan tafsir mengenai penghitungan masa jabatan pejabat sementara (Plt) kepala daerah. MK memutuskan masa jabatan Plt dihitung sejak pelaksanaan tugas secara nyata (riil dan faktual) bukan sejak pelantikan," ujar dia.

Dalam putusan ini, lanjut Arief, MK secara tegas membatalkan Pasal 19 huruf e pada PKPU Nomor 8 Tahun 2024 yang menyatakan penghitungan masa jabatan Plt dihitung sejak pelantikan.

“Keputusan ini memiliki dampak besar karena Pasal 19 huruf e tersebut dianggap telah kehilangan dasar yuridisnya, sehingga tidak dapat dijadikan acuan," papar Arief. 

Menurut dia, pendiskualifikasian ini bukan sebatas masalah menang atau kalah di pilkada. Tapi, demi menegakkan aturan hukum.

"Pendiskualifikasi terhadap Edi Darmansyah Ini bukan masalah menang kalah atau zero sum game dalam Pilkada Kukar 2024, tapi masalah penegakan aturan main dan hukum dalam pelaksanan Pilkada yang demokratis dan menjunjung tinggi UU dan hukum yang berlaku," tegas Arief. 

Sebelumnya pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas status Edi Darmansyah telah menjalani dua periode sebagai Bupati Kutai Kartanegara harus dipatuhi. Sehingga Edi seharusnya tidak boleh lagi mencalonkan diri sebagai bupati.

"Jadi Edi Darmansyah dengan alasan apa pun harus dianggap dua periode, karena MK menyatakan begitu. Tidak ada tafsir lain selain itu," ujar dia.

PT TUN Banjarmasin menolak gugatan sengketa Pilkada Kutai Kartanegara terkait pencalonan pasangan petahana. Gugatan tersebut dilayangkan pasangan calon lain yang menganggap Edi telah menjabat dua periode. Penetapan pasangan calon menjadi materi gugatan, dan KPU Kutai Kartanegara kemudian menjadi tergugat. 

Kuasa hukum KPU Kutai Kartanegara Hifdzil Alim memerinci eksepsi yang disampaikan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan dan Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan.

Dasar hukum lainnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 3 Tahun 2015 pada poin 3, yakni sesama pasangan calon peserta pemilihan tidak dapat menggugat dalam sengketa Tata Usaha Negara (TUN). Sebab, kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai penggugat dalam sengketa TUN pemilihan hanya diberikan oleh undang-undang bagi pasangan yang dirugikan kepentingannya atau yang tidak ditetapkan oleh KPU.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Deny Irwanto)