Merasa Jadi Korban Atasan, WNI Cari Keadilan hingga Komnas Perempuan

Kuasa hukum Zuhesti Prihadini, Hari Wijayanto. Dok. Istimewa

Merasa Jadi Korban Atasan, WNI Cari Keadilan hingga Komnas Perempuan

Candra Yuri Nuralam • 11 November 2024 21:59

Jakarta: Mantan senior associate firma hukum LL, Zuhesti Prihadini, mengeluhkan peristiwa pidana yang menerpa dirinya. Sebagai warga negara Indonesia (WNI), dirinya menjadi korban perintah atasan, terkait perintah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).

Kuasa hukum Zuhesti Prihadini, Hari Wijayanto, menyebut kliennya melaporkan kejadian yang menimpanya itu ke beberapa instansi. Yakni ke Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Jakarta Selatan dan bersiap untuk maju ke Pengadilan Hubungan Industrial.

"Zuhesti turut melaporkan ke Ombudsman RI perihal perbedaan perlakuan dirinya dengan atasanya, Philipp Kersting (PK) yang dengan leluasa dapat menggunakan alat elektronik selama di dalam lapas. Pemecatan yang dilakukan induk perusahaan PT LI juga turut dilaporkan ke Komnas Perempuan lantaran ada perilaku yang tidak adil yang berbasis gender," kata Hari, di Jakarta, Senin, 11 November 2024.

Hari membeberkan kronologi yang menimpa kliennya, yakni dimulai dengan peristiwa RUPSLB pada 2022. Rapat umum yang di kemudian hari diputuskan melawan hukum itu, diperintahkan oleh atasannya, PK.

PK, kata Hari, merupakan penanggung jawab firma hukum LL, yang menjadi anak usaha PT LI sebagai perpanjangan tangan dari LR mBH kantor hukum multinasional yang bermarkas di Jerman, dengan pemegang saham 74,95 yang dikuasai korporasi SN GmbH.

"RUPSLB tandingan ini merupakan ide atau inisiatif Philipp Kersting guna melaksanakan surat kuasa khusus tanggal 18 November 2021 dari SN GmbH. Adapun RUPSLB tandingan ini adalah alternatif yang akan ditempuh apabila RUPS PT SI (perwakilan SN GmbH di Indonesia) tidak tercapai," kata Hari.
 

Baca Juga: 

MH Care Ajak Masyarakat Kalsel Tingkatkan Kualitas Kesehatan


Ujungnya, Zuhesti dipidana penjara bersama dengan PK oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Philipp dijatuhi pidana satu tahun penjara. Sementara itu, Zuhesti dijatuhi pidana enam bulan kurungan.

"Singkatnya, pada Maret 2024 ketika berada di dalam penjara, PK mengirimkan surat elektronik berisi teguran kepada Zuhesti lantaran menolak menandatangani dokumen keputusan dewan komisaris pada salah satu perusahaan dimana ada nama Zuhesti sebagai nominee," kata Hari.

Kemudian, kata Hari, Zuhesti menerima surat tanpa tanggal dari PT LI. Isinya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang efektif mulai 31 Maret 2024.

Alasan pemecatan, kata Hari, lantaran Zuhesti dinyatakan bersalah berdasarkan Putusan PN Tangerang. Surat PHK sepihak dari LI ditandatangani Direktur PT LI.

"Cukup ironis, mengingat tindakan Zuhesti yang kemudian dinyatakan bersalah tersebut merupakan perintah PK sendiri," kata Hari.

Di sisi lain, PT LI tak memperlakukan PK seperti Zuhesti. Atasan Zuhesti yang dihukum lebih berat itu masih menjadi partner PT LI dan tidak dipecat. "Padahal PK merupakan aktor utama dalam perkara yang membuat Zuhesti masuk penjara," kata Hari.

Atas dasar itu, pihaknya mencari keadilan ke sejumlah instansi. Bahkan hingga ke Komnas Perempuan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)