Jakarta: Indonesia terus menunjukkan komitmennya untuk mencapai
Net Zero Emission (NZE) pada 2060 dengan menjajaki opsi pemanfaatan energi bersih sebagai pengganti energi batu bara dan BBM yang mengakibatkan perubahan iklim sebagai dampaknya.
Mencermati energi terbarukan yang jumlahnya dipastikan tidak memadai di 2060 sebagai kebutuhan energi di Indonesia, maka energi nuklir menjadi solusi sebagai pembangkit listrik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dalam rangka mendukung visi ini, seminar bertajuk "Indonesia Goes Nuclear: Technology Preparation and Human Resources Development" diselenggarakan di auditorium
PLN, Jakarta, pada 1 Deptember 2024.
Direktur Manajemen Resiko PLN Suroso Isnandar, mengatakan PLN sudah mengembangkan skenario hingga 2040, mengakselerasi energi terbarukan dengan mengurangi batu bara. Dalam skenario ini, termasuk menambah 75 persen sumber energi terbarukan, menambah 25 persen gas dan 2,4 GW energi nuklir.
Acara ini dihadirioleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk para akademisi dari beberapa kampus Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dewan Energi Nasional (DEN), Lembaga Kajian Nawacita (LKN) dan mengundang Rosatom, perusahaan energi nuklir global dari Rusia. Delegasi dari Rosatom yang hadir ke seminar ini dipimpin langsung oleh Boris Arseev sebagai Director of the Development and International Business Rosatom.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menginisasi pengembangan nuklir
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menginisasi pengembangan nuklir sejak 1950-an pada era kepresidenan Bung Karno dan merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang memasuki era nuklir dengan menerbitkan Keppres RI No. 230 Tahun 1954.
Hingga saat ini, Indonesia telah mengoperasikan tiga reaktor riset, yaitu Reaktor TRIGA 2000, Reaktor Kartini, dan Reaktor Serba Guna GA Siwabessy. Presiden terpilih Indonesia periode 2024-2029, Prabowo Subianto, dalam pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 31 Juli 2024 lalu di Kremlin, Rusia, menyatakan minatnya terhadap energi nuklir, khususnya Modular Reactor (SMR), dan membahas potensi kerja sama dengan Rusia melalui Rosatom.
"PLN juga sudah memetakan pemanfaatan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Indonesia. Untuk PLTN skala besar akan diemplementasikan di Indonesia bagian barat. Sementara, PLTN skala kecil (SMR) dikembangkan untuk wilayah Indonesia bagian timur”.
Tren global saat ini menunjukkan pergeseran menuju pembangunan reaktor modular, dan BRIN telah mengambil langkah maju dengan mengembangkan desain Small Modular Reactor (SMR) bernama PELUIT 40. Reaktor ini memiliki kapasitas 40 megawatt dan mampu menghasilkan listrik serta memanfaatkan buangan uap panas untuk produksi hidrogen.
Menyikapi hal ini, Tri Mumpuni, pegiat energi rakyat yang menjadi moderator dalam seminar tersebut, menekankan pentingnya mempersiapkan para ilmuwan dan tenaga ahli nuklir di Indonesia
"Untuk menghadapi Net Zero Emission 2060, kita perlu memanfaatkan teknologi nuklir yang aman dan dikelola dengan benar oleh para pakar. Indonesia membuka peluang Kerja sama dengan negara-negara yang memiliki teknologi nuklir terdepan, khususnya Rusia," jelas dia.