Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa. Foto: MI/Ebet
Media Indonesia • 15 November 2024 06:29
KIRANYA hanya sedikit orang di muka bumi ini yang asing dengan megabintang sepak bola, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Keduanya tenar di seantero dunia, kiprah mereka baik kala merumput maupun di lapangan kehidupan pun luar biasa mengesankan. Karena itu, jika Messi dan CR-7 lantas menyandang beragam duta, itu sudah sewajarnya.
Messi ialah pemain terhebat yang pernah ada, terbesar sepanjang masa. Delapan kali dia menyabet Ballon d'Or sebagai pemain terbaik dunia. Itu rekor yang tak lumrah, rekor yang entah kapan bisa dibikin patah.
Sepak bola beruntung memiliki Ronaldo, pemain yang terlahir dari keluarga miskin di Funchal, Portugal. Lima kali dia merengkuh Ballon d'Or. Belum lagi seabrek gelar lainnya. Sama seperti Messi, sulit untuk menghafal penghargaan apa saja yang pernah dia sabet. Saking banyaknya, saking seringnya.
Messi dan Ronaldo ialah contoh manusia berprestasi sekaligus berjiwa sosial tinggi. Keduanya teladan, inspirator. Karena itu, sungguh tepat lembaga-lembaga dunia menyandarkan kepercayaan. Messi, misalnya, diangkat sebagai Duta PBB untuk Anak-Anak (Unicef) dan untuk Pariwisata Bertanggung Jawab. Ronaldo dipercaya sebagai duta tiga badan amal, yakni Save the Children, Unicef, dan World Vision. Ia konsisten menggunakan platform globalnya sebagai kekuatan untuk kebaikan.
Siapa yang tak kenal Angelina Jolie? Popularitas dan kepeduliannya kepada sesama sulit dinafikan. Karena itu, pas kiranya PBB menjadikan artis Hollywood itu sebagai utusan khusus badan pengungsi dunia. Sama pasnya dengan penunjukkan Selena Gomez, Shakira, Katy Perry, dan Choi Siwon sebagai duta Unicef, atau Anne Hathaway jadi Duta PBB untuk Perempuan.
Pada 2012, Malala Yousafzai hampir terbunuh oleh Taliban yang menembakinya karena berkampanye untuk hak atas pendidikan bagi anak perempuan di Afganistan. Beruntung dia selamat, bahkan kemudian menjadi pemenang Hadiah Nobel. Pada usia 19 tahun, Malala pun diangkat menjadi Duta Perdamaian PBB termuda. Itu jabatan prestisius. Tokoh-tokoh dunia seperti Muhammad Ali, George Clooney, Leonardo DiCaprio, dan Stevie Wonder pernah menyandangnya.
Di sana, di mancanegara, pengangkatan duta tidak suka-suka. Menunjuk seseorang sebagai utusan khusus mutlak didasarkan pada rekam jejak yang baik. Itu penting, sangat penting, karena sang duta mewakili dan menyuarakan misi lembaga yang menjadikannya duta.
Bagaimana di sini, di Indonesia ini? Bukan hanya agak lain, melainkan benar-benar lain. Banyak duta yang diberikan semaunya. Diobral. Obral biasanya diperuntukkan barang-barang yang tak laku atau sudah apkir. Karena harganya murah, siapa saja bisa mendapatkannya.
Landasan pengangkatan seseorang menjadi duta juga terbalik-balik. Yang teranyar ialah langkah Polri menunjuk Gunawan 'Sadbor' sebagai dua antijudi online (judol). Gunawan ialah tiktoker asal Sukabumi, Jawa Barat. Ia sempat ditangkap dan ditahan karena diduga mempromosikan judol. Penahanannya lalu ditangguhkan. 'Sadbor' yang masih berstatus tersangka judol kini malah menjadi duta antijudol.
Begitulah adanya. Kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (11/11), Gunawan tidak tahu telah mempromosikan
judol. Penangguhan penahanannya sekaligus menjawab pertanyaan publik kenapa ada perbedaan perlakuan antar-
influencer.
Sebagai influencer pemula, Gunawan cepat ditangkap. Sebaliknya yang lain, influencer papan atas, pesohor-pesohor terkenal, yang juga diduga mempromosikan judol bebas melenggang. Kata Denny Cagur, komedian yang pernah berurusan dengan polisi karena diduga promosi judol, paling tidak ada 27 artis yang sudah diperiksa. Anggota DPR itu juga beralasan tidak tahu situs yang pernah dipromosikan ialah judol.
Aneh, itulah narasi di ruang publik ihwal kebijakan Polri. Bukankah para pesohor itu semestinya juga segera ditindak jika Polri ingin menjawab tudingan rakyat soal perlakuan berbeda atas perkara yang sama? Kenapa, kok, malah menangguhkan penahanan Gunawan dan tetap membiarkan para influencer lainnya seolah tak tersentuh oleh hukum?
Ajaib, konyol, sia-sia. Itulah kata-kata yang bermunculan di media sosial perihal pengangkatan 'Sadbor' sebagai duta antijudol. Publik, termasuk saya, jelas mendukung polisi memberikan pemahaman kepada mereka yang belum paham tentang judol. Namun, apakah harus menunjuk seseorang yang bermasalah dengan judol sebagai duta antijudol?
Dejavu, begitulah yang terjadi kini. Dulu, pedangdut Zaskia Gotik diangkat menjadi duta Pancasila setelah dia membanyol dengan menyebut lambang sila Pancasila 'bebek nungging'. Pada 2017, sejumlah remaja memetik bunga edelweis di Gunung Rinjani, NTB. Alih-alih disanksi, mereka malah dijadikan duta pelestari edelweis.
Masih pada 2017, artis Dewi Persik menerobos jalur Trans-Jakarta. Namun, ia justru diusulkan jadi duta tertib Trans-Jakarta Line dan duta keselamatan berlalu lintas.
Setahun berselang, artis Roro Fitria ditangkap karena kasus narkoba. Padahal, dia pernah digadang-gadang sebagai duta antinarkoba.
Setahun silam, Menkominfo saat itu, Budi Arie Setiadi, mengusulkan artis Wulan Guritno sebagai duta antijudol. Padahal, Wulan sedang tersandung oleh kasus judol. Dia diduga mempromosikan aktivitas terlarang itu.
Jika yang aneh-aneh itu berlanjut, duta tak lagi terhormat, turun derajat. Masyarakat pun risau, jangan-jangan nanti ada koruptor dijadikan duta antikorupsi, pembunuh sebagai duta antipembunuhan, perudapaksa menjadi duta antipemerkosaan. Berabe betul kalau begitu.