Warga Sipil Thailand Jadi Korban Pertama Pertempuran dengan Kamboja

Prajurit Thailand terlibat pertempuran sengit dengan Kamboja. Foto: Anadolu

Warga Sipil Thailand Jadi Korban Pertama Pertempuran dengan Kamboja

Fajar Nugraha • 11 December 2025 16:04

Surin: Sebanyak tiga warga sipil Thailand tewas akibat pertempuran sengit yang terus berlanjut di sepanjang perbatasan negara itu dengan Kamboja. Ini menandai korban jiwa sipil pertama di negara itu sejak pertempuran kembali terjadi.

Pertempuran skala besar terbaru dipicu oleh bentrokan pada hari Minggu yang melukai dua tentara Thailand dan menggagalkan gencatan senjata yang didorong oleh Presiden AS Donald Trump yang mengakhiri lima hari pertempuran pada bulan Juli atas sengketa teritorial yang telah berlangsung lama.

Sekitar 20 puluh orang dilaporkan tewas dalam pertempuran terbaru, sementara ratusan ribu orang mengungsi di kedua sisi perbatasan dan dipindahkan ke tempat penampungan sementara atau dipindahkan untuk tinggal bersama kerabat.


Pernyataan Angkatan Darat Thailand mengatakan Kamboja pada Rabu malam melancarkan serangan dengan artileri dan mortir terhadap posisi Thailand, yang dibalas dengan jenis senjata berat yang sama, menyebabkan kerusakan termasuk "penghancuran truk musuh."

Situs berita online Fresh News Cambodia, yang mencerminkan posisi pemerintah, mengatakan duel artileri terus berlanjut pada Kamis pagi.

Pertempuran tersebut telah menimbulkan keprihatinan internasional, termasuk dari Paus Leo XIV, yang mengatakan kepada audiensi di Vatikan bahwa ia "sangat sedih atas berita konflik yang kembali berkobar."

"Ada korban jiwa, termasuk di antara warga sipil, dan ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Saya menyampaikan simpati saya dalam doa kepada orang-orang terkasih ini," katanya pada hari Rabu.

Trump mengatakan dia akan mendesak kedua pihak untuk kembali ke gencatan senjata.

Gencatan senjata awal pada Juli ditengahi oleh Malaysia dan didorong melalui tekanan dari Trump, yang mengancam akan menahan hak istimewa perdagangan kecuali Thailand dan Kamboja setuju. Gencatan senjata tersebut diformalkan secara lebih rinci pada Oktober dalam pertemuan regional di Malaysia yang dihadiri Trump.

Meskipun ada kesepakatan untuk menghentikan pertempuran, kedua negara melanjutkan perang propaganda yang sengit dan kekerasan lintas perbatasan kecil terus berlanjut.

Kamboja mengeluh bahwa Thailand tidak mengembalikan 18 tentara yang ditangkapnya saat gencatan senjata mulai berlaku, sementara Thailand memprotes setelah tentara yang berpatroli di perbatasan terluka oleh ranjau darat, yang menurut mereka baru saja ditanam oleh Kamboja. Kamboja bersikeras bahwa ranjau-ranjau itu adalah sisa-sisa perang saudara selama beberapa dekade yang berakhir pada tahun 1999.

Trump mengatakan, dia berharap dapat berbicara melalui telepon dengan kedua pemimpin tersebut pada hari Kamis, dan menyatakan keyakinannya bahwa dia akan membujuk kedua pihak, sekali lagi, untuk menghentikan pertempuran.

"Saya pikir saya bisa membuat mereka berhenti bertempur. Siapa lagi yang bisa melakukan itu?" kata Trump pada Rabu dalam percakapan dengan wartawan, di mana ia juga mengulangi klaimnya yang berlebihan tentang menyelesaikan delapan perang di seluruh dunia sejak kembali ke Gedung Putih.

“Sesekali, satu perang akan berkobar lagi dan saya harus memadamkan api kecil itu,” ujar Trump.

AS belum menghubungi Thailand setelah pernyataan terbaru Trump, kata Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul kepada wartawan di Bangkok pada hari Kamis.

Anutin, yang mencerminkan sentimen publik nasionalis, telah berulang kali berjanji untuk terus berjuang sampai kedaulatan dan keamanan Thailand terjamin.

Dalam pernyataannya pada hari Rabu, ia tampaknya tidak mengesampingkan negosiasi dengan Kamboja, tetapi mengatakan bahwa ia tidak akan melakukannya hanya atas permintaan Trump.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fajar Nugraha)