Mualem menerobos wilayah Aceh Tamiang untuk menyalurkan bantuan dan mendengar kisah para warga terdampak banjir Foto: Istimewa
Fajri Fatmawati • 4 December 2025 21:35
Aceh Tamiang: Diam-diam dan dengan kecepatan yang mematikan, air bah menyapu pemukiman di Karang Baru, Aceh Tamiang. Bukan sekadar banjir, warga menyebutnya sebagai "tsunami sungai" bencana yang mengubah kehidupan Warga Karang Baru dalam hitungan jam, meninggalkan kenangan dan fondasi rumah yang tertimbun lumpur tebal.
Ishak -disapa- Kureng, warga Desa Menang Gini, menuturkan cepatnya bencana itu melanda. Air mulai naik pada Rabu, 26 November 2025 dan menjelang malam telah menyentuh ketinggian dua meter. Puncaknya, pada Jumat, 28 November 2025, air mencapai ketinggian 3,5 meter, menyisakan ruang sempit untuk bernapas di atap-atap rumah.
“Kami terjebak sekitar empat hari empat malam,” ujar Ishak, mengenang masa-masa genting itu, Kamis, 4 Desember 2025.
Ishak dan sekitar 50 warga lainnya kemudian menemukan titik keselamatan di kantor KPA setempat, yang juga menjadi tujuan pengungsian warga dari desa-desa sekitarnya. Namun, rasa aman itu tidak serta-merta menghapus trauma.
“Arus banjir kencang sekali, rumah hancur semua,” katanya dengan suara lirih.
Kini, di tempat pengungsian, kebutuhan paling mendesak adalah makanan, air bersih, dan obat-obatan untuk bayi yang banyak terserang demam.
“Saat banjir,yang diselamatkan cuma keluarga. Yang tersisa hanya baju di badan," ungkap Ishak.
Jembatan Teupin Mane putus akibat banjir bandang, kini menjadi akses darurat untuk pasien kritis akibat bencana di Bireun, Aceh. (Metro TV/Muhammad Zakaria)
Kalimat singkat Ishak itu seolah mengungkap seluruh kedahsyatan bencana dan kehilangan yang mereka tanggung. Tidak ada waktu untuk menyelamatkan harta benda, nyawa adalah segalanya.
Kisah serupa juga diungkapkan Wahyu Putra Pratama dari Kampung Dalam, yang mengungsi bersama keluarganya usai salat Magrib saat air tiba-tiba membanjiri rumahnya. Wahyu menggambarkan kenaikan air yang luar biasa cepat hanya dalam satu setengah jam, permukaan air sudah mencapai kabel listrik setinggi tiga meter.
“Rumah sudah hancur semua. Kami cari kelapa, pisang, apa saja. Berenang sambil ikat pinggang supaya tidak hanyut," ujar Wahyu.
Warga melakukan evakuasi darurat menggunakan kabel baja untuk menyeberangi sungai dengan arus sangat deras. (?Metro TV/Muhammad Zakaria)
Mereka bertahan selama lima hari lima malam, sebelum akhirnya air surut pada hari keenam. Kerusakan yang ditinggalkan sungguh parah. Menurut Wahyu, ratusan rumah di desanya rusak berat, sebagian hanya menyisakan fondasi.
"Dari 100 persen, hanya 20 persen yang tersisa,” tuturnya.
Dia menyebutkan
korban jiwa mencapai sekitar 250 orang, dengan sekitar 150 di antaranya masih dinyatakan hilang. “Baru kali ini kami merasakan bencana sebesar ini,” kata Wahyu, mewakili perasaan banyak warga.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), yang menerobos puing-puing bencana banjir di Aceh Tamiang untuk memberikan bantuan logistik menyampaikan rasa duka dan empati kepada para korban. Mualem pun mengaku sedih dan pilu melihat kondisi warganya.
"Kita harap rakyat Aceh tabah menghadapi cobaan banjir dan longsor,” kata Mualem.