Refleksi Maulid Nabi, Muhammdiyah: Rasulullah Sosok Pembawa Persatuan dan Perdamaian

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir . Dokumentasi/Tim Media PP Muhammadiyah

Refleksi Maulid Nabi, Muhammdiyah: Rasulullah Sosok Pembawa Persatuan dan Perdamaian

Ahmad Mustaqim • 6 September 2025 13:28

Yogyakarta: Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk meneguhkan cinta sekaligus meneladani ajaran dan akhlak Rasulullah. Bukan sekadar nabi, Haedar mengatakan Nabi Muhammad SAW juga jadi sosok acuan dalam menjaga persatuan. 

"Dalam sejarah hidup beliau, kita mendapati sosok Nabi bukan hanya sebagai rasul pembawa wahyu, tetapi juga sebagai pribadi yang menghadirkan perdamaian, persaudaraan, dan persatuan di tengah masyarakat yang penuh konflik," kata Haedar pada Sabtu, 6 September 2025. 

Dalam banyak peristiwa lain sepanjang perjalanan dakwahnya, Haedar mengatakan Rasulullah selalu menegakkan nilai perdamaian di atas pertimbangan ego pribadi maupun kepentingan kelompok. Nabi Muhammad SAW disebut memiliki rekam jejak dalam membangun tatanan sosial-politik.

"Piagam Madinah menjadi bukti nyata, bagaimana beliau membangun tatanan sosial-politik yang adil dan damai. Nabi tidak membangun peradaban dengan permusuhan, melainkan dengan perjanjian, pengakuan hak, dan penghargaan terhadap keberagaman," ujar Haedar.

Haedar mengatakan ada sebuah Perjanjian Hudaibiyah yang menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang mengandung banyak hikmah. Pada pandangan pertama, isi perjanjian itu tampak merugikan kaum Muslimin. Nabi dan para sahabat yang berniat suci menunaikan umrah harus menahan diri dan kembali ke Madinah tanpa memasuki Makkah. Namun, Nabi menerimanya dengan penuh kebijaksanaan.
 

Baca: Libur Panjang Maulid Nabi, 138 Ribu Penumpang Padati Kereta KAI Daop 8 Surabaya

"Beliau lebih memilih jalan damai ketimbang mengikuti emosi sesaat dan situasi konflik. Kesabaran Nabi saat itu mengajarkan bahwa perdamaian bukanlah tanda kelemahan, melainkan strategi mulia yang membuka jalan kemenangan lebih besar," ucap Haedar.

Menurutnya, perdamaian adalah kekuatan moral. Rasulullah SAW menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin bukan terletak pada keberanian berperang, tetapi pada kemampuan menahan diri, memilih dialog, dan meneguhkan kedamaian. 

"Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Al-Anfal ayat 61 yang maknanya, 'Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah'. Perjanjian Hudaibiyah adalah bukti nyata bahwa manfaat terbesar lahir dari pilihan damai, bukan dari pertikaian," ujar Haedar.

Ia mengungkapkan keputusan Nabi menerima perjanjian itu terbukti membawa dampak besar. Perdamaian membuka jalan dakwah Islam yang lebih luas, hingga akhirnya kaum Quraisy masuk Islam secara berbondong-bondong. Perjanjian Hudaibiyah mengajarkan bahwa menahan diri dari konflik lebih bermanfaat daripada memperturutkan emosi permusuhan.

Haedar menegaskan nilai besar teladan Rasulullah tersebut sesungguhnya sangat relevan untuk kehidupan masyarakat muslim saat ini. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk sering kali dihadapkan pada ketegangan politik, pertarungan kepentingan, dan godaan sektarianisme. 

"Dalam dinamika sosial dan politik kita, masih sering kita saksikan bagaimana perbedaan justru dipertajam menjadi alasan untuk saling merendahkan, bahkan memecah belah," ucap Haedar. 

Haedar berpesan agar para pemimpin bangsa, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat publik, seharusnya bercermin pada keteladanan Nabi Muhammad. Rasulullah mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah alat untuk meneguhkan kepentingan pribadi atau golongan, tetapi amanah untuk menghadirkan maslahat, keadilan, dan persatuan.

"Ketika pemimpin mengedepankan perdamaian, menumbuhkan kepercayaan, dan merangkul semua pihak, maka bangsa ini akan semakin kokoh," ujar Haedar.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Whisnu M)