Podium: Menunggu Good News

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)

Podium: Menunggu Good News

Abdul Kohar • 23 April 2025 06:22

ADA pelajaran penting yang diperoleh negeri ini dari pengenaan tarif timbal balik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap hampir 100 negara, termasuk Indonesia. Pelajaran penting itu ialah kita mesti mempelajari lagi prinsip-prinsip dasar negosiasi, diplomasi, dan lobi-lobi.

Para negosiator kita dipaksa membuka 'kamus' lama tentang negosiasi, cara melobi, juga memahami seni diplomasi. Kita dipaksa menjadi 'mahasiswa hubungan internasional' dan 'mahasiswa ilmu komunikasi' yang menggali lagi diktat-diktat dasar secara ketat. Tentu, dengan catatan, kita belum tentu bakal lulus ujian dari 'Paman Sam'. Pasti, tidak bisa digaransi jelas lulus seleksi.

Karena itu, para negosiator kita yang digawangi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu mesti sabar, ulet, juga pintar putar otak membedah gambaran besar tarif resiprokal hingga teliti pada perintilan-perintilan teknis. Mereka mesti paham memainkan seni sekaligus tabah menghadapi 'kecerewetan' dan detail-detail desakan.

Saya bisa membayangkan saat para 'juru runding' kita sempat mendapatkan secercah harapan ketika Kementerian Perdagangan AS menyebut proposal kita 'konkret', tapi tiba-tiba mesti menjawab tetek bengek permintaan. Pasti mumet. Sudah barang tentu bisa ruwet.

Rengekan itu, misalnya, saat kantor perwakilan AS, United States Trade Representative (USTR), menyoroti penggunaan Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Kantor perwakilan AS itu menganggap kedua peranti itu sebagai hambatan. Dalam merespons hal itu, Airlangga mengatakan pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait dengan masukan dari pihak AS.
 

Baca Juga: 

Imbas Tarif Trump, Indonesia Cari Peluang Pasar Baru Selain AS


Sebelumnya, dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025, USTR mencatat sejumlah hambatan tarif dan nontarif yang dihadapi negara tersebut dengan para mitra dagang, termasuk Indonesia. Salah satu yang dipersoalkan USTR terkait dengan jasa keuangan, yakni penggunaan QRIS. Laporan itu menyebutkan perusahaan AS, termasuk bank dan penyedia jasa pembayaran, merasa tidak dilibatkan saat BI membuat kebijakan mengenai QRIS.

'Stakeholder internasional tidak diberi tahu potensi perubahan akibat kebijakan ini dan tidak diberi kesempatan untuk memberi pandangan terhadap sistem tersebut', tulis USTR dalam dokumen mereka.

Padahal, sistem pembayaran berbasis teknologi itu berkembang dengan pesat di Indonesia karena dinilai lebih praktis. Sistem itu diperkenalkan sejak 2019. Lalu, penggunaannya kian masif saat pandemi covid-19, terutama ketika ada anjuran mengurangi pertemuan atau sentuhan fisik dengan pihak lain yang amat riskan menularkan virus covid-19.

Menko Airlangga Hartarto yang telah menemui United States Secretary of Commerce Howard Lutnick dalam agenda rangkaian negosiasi tarif resiprokal yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap Indonesia sebesar 32% sempat meniupkan harapan. Pertemuan dengan Lutnick telah terselenggara dua kali. Pertama, pertemuan secara daring melalui Zoom meeting pada Kamis, 17 April 2025. Kedua, pertemuan secara langsung di Kantor Department of Commerce (DoC) AS pada Sabtu, 19 April 2025 waktu setempat.

Dalam pertemuan kedua yang berlangsung selama 1,5 jam itu Airlangga menawarkan sejumlah kebijakan perdagangan dengan AS supaya tercipta perdagangan yang adil, sebagaimana permintaan Trump karena neraca perdagangan AS dengan Indonesia kerap defisit. "Kami berterima kasih kepada Secretary Lutnick yang memberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi tarif dan menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mewujudkan perdagangan yang adil dan berimbang," kata Airlangga melalui siaran pers.

Dalam negosiasi itu, Airlangga menawarkan pembelian dan impor Indonesia dari AS untuk menyeimbangkan defisit perdagangan AS, antara lain pembelian produk energi (crude oil, LPG, dan gasoline) serta peningkatan impor produk pertanian dari AS (soybeans, soybeans meal, dan wheat) yang memang sangat dibutuhkan dan tidak diproduksi di Indonesia.
 
Baca juga: 

Hati-hati! Negosiasi Dagang dengan AS Berpotensi Jadi Pisau Bermata Dua


Airlangga juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk kerja sama di bidang critical mineral, dukungan investasi AS, dan komitmen untuk menyelesaikan permasalahan non-tariff barrier (NTB) yang menjadi perhatian khusus pengusaha AS di Indonesia. Lutnick pun kabarnya mengapresiasi tawaran Airlangga, termasuk proposal konkret terkait dengan pembelian produk dari AS.

Ia menganggap tawaran Indonesia saling menguntungkan di antara kedua negara. Pada kesempatan itu, Lutnick juga sependapat dengan rencana target negosiasi yang akan diselesaikan dalam 60 hari ke depan dan menyarankan agar langsung menyusun jadwal pembahasan teknis secara detail dengan pihak DoC dan USTR.

"Kami mengapresiasi langkah konkret Indonesia untuk melakukan negosiasi tarif. Ke depan, AS dan Indonesia akan terus melanjutkan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan," ujar Lutnick.

Benar-benar secercah harapan, bukan? Namun, ketika masuk ke detail teknis, kemampuan lobi dan negosiasi kita benar-benar diuji. Bisa jadi yang hari ini cuma secercah, besok menjadi dua cercah, hingga sepuluh cercah. Namun, bisa jadi juga zonk. Semua amat sangat bergantung kepada kemampuan juru runding kita dan kepandaian kita menyusun siasat.

Kita punya rekam jejak kisah sukses para juru runding menjelang dan saat awal-awal kemerdekaan dalam berdiplomasi dan bernegosiasi dengan Belanda. Kita berharap mengulang kisah yang sama meski di palagan berbeda. Semoga.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)