M Sholahadhin Azhar • 24 September 2025 19:09
Jakarta: Saling menghormati kedaulatan setiap negara dan menjunjung tinggi hukum internasional harus dikedepankan. Hal itu dibutuhkan untuk mewujudkan perdamaian dunia.
"Upaya menciptakan perdamaian harus bertolak dari kesepahaman bahwa damai berarti komitmen pada kemanusiaan untuk mengakhiri semua bentuk permusuhan," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Rabu, 24 September 2025.
Hal itu disampaikan dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Peran Indonesia dalam Perdamaian Timur Tengah Pasca Serangan Israel ke Qatar yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu, 24 September 2025.
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Dian Wirengjurit (Duta Besar RI untuk Iran periode 2012-2016), Prof. Dr. Siti Mutiah Setiawati (Guru Besar Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada), dan Broto Wardoyo, S.Sos., M.A., Ph.D. (Dosen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Dr. Shafiah F. Muhibat (Wakil Direktur Eksekutif Bidang Studi Centre for Strategic and International Studies/CSIS) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, perdamaian juga memungkinkan kebebasan bernegara serta prasyarat bagi penghormatan pada martabat manusia.
Rerie, sapaan akrab Lestari, mengungkapkan, terkait serangan Israel ke Doha, Qatar pada 9 September 2025, sikap pemerintah RI yang mendukung kedaulatan Qatar merupakan langkah yang tepat.
Rerie berpendapat, kehadiran Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Darurat negara-negara Arab dan Islam pada Senin (15/9) lalu, harus diletakkan dalam koridor merealisasikan amanat Konstitusi UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II itu menilai, solidaritas Indonesia pada negara lain mesti diperkuat melalui legitimasi diplomatik.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar Indonesia dapat menjadi negara yang mampu berdialog dengan berbagai pihak yang berkonflik agar tercipta harmoni dalam keberagaman, sebagaimana Indonesia yang damai dengan realitas multi-diversity.
Dian Wirengjurit mengungkapkan, Qatar dinilai sejumlah pihak sebagai negara yang bersikap ambigu.
Dalam setiap terjadi perselisihan di kawasan, ujar Dian, Qatar selalu mengajukan diri sebagai penengah, sebagai realisasi kebijakan negara Qatar yang selalu ingin berperan sebagai penyeimbang.
Menurut Dian, bila ingin berperan dalam penyelesaian konflik antarnegara di Timur Tengah, Indonesia tidak memiliki leverage.
Selain itu, tambah dia, Qatar merupakan salah satu negara Timur Tengah yang mempersilakan Hamas membuka kantor perwakilan.
Bahkan Israel, jelas Dian, punya kantor perwakilan dagang di Doha, Qatar, meski kedua negara tidak punya hubungan diplomatik.
Kondisi itulah, menurut Dian, yang membuat Qatar dipermudahkan untuk berperan menjadi penengah dalam konflik antara Hamas dan Israel.
Sebaliknya, tambah dia, dengan kondisi tersebut upaya Indonesia cukup sulit untuk bisa berperan sebagai penengah dalam konflik Palestina-Israel.
"Indonesia hanya bisa berperan dalam konteks bantuan kemanusiaan dalam konflik Palestina-Israel," kata Dian.
Sebaliknya, Siti Mutiah Setiawati berpendapat, sekecil apa pun Indonesia dapat berperan dalam mewujudkan perdamaian pada konflik Palestina-Israel.
Salah satu bentuk sumbangsih Indonesia dalam konflik itu, jelas Siti, adalah dukungan penuh upaya mewujudkan Palestina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Terpenting, jelas Siti, sekecil apa pun bentuk dukungan Indonesia dapat dilihat oleh dunia.
Menurut Siti, sejumlah langkah diplomasi Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina di berbagai kesempatan merupakan sumbangan yang penting dalam proses menyelesaikan konflik Palestina-Israel.
Pascaserangan Israel ke Qatar, ujar Siti, Presiden Prabowo pun langsung bertemu dengan Emir Qatar, untuk menyampaikan simpati.
Pada saat yang bersamaan, Menteri Luar Negeri RI menghadiri KTT Darurat OKI di Doha, Qatar.
Selain itu, tambah Siti, sejumlah pernyataan Presiden Prabowo terkait usul two state solution dan pengakuan Palestina sebagai negara merdeka, juga merupakan langkah yang penting.
Broto Wardoyo berpendapat, cukup sulit bagi Indonesia dapat berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.
Tetapi, tegas Broto, kondisi itu bukan berarti tidak bisa direalisasikan.
Peta politik Timur Tengah pasca-Israel menyerang Qatar, menurut Broto, tidak banyak berubah karena ketergantungan negara-negara di Timur Tengah terhadap Amerika masih tetap besar.
Menurut Broto, semua negara Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, pada titik tertentu pasti memiliki ketergantungan terhadap Amerika Serikat.
"Dengan kondisi tersebut, mungkinkah negara-negara di Timur Tengah dapat satu suara dalam menyikapi konflik-konflik yang terjadi? Kondisinya memang cukup kompleks," ujar Broto.
Shafiah F. Muhibat mengungkapkan, beragamnya pendapat yang berkembang terkait penyelesaian konflik di Timur Tengah saat ini menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh untuk bisa berperan aktif dalam ikut mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.
Menurut Shafiah, negara-negara Arab tersandera dengan kepentingan masing-masing dalam upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.
Shafiah menilai, ide Indonesia berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian pada konflik di Timur Tengah, tidak realistis.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, ada dua fenomena yang makin menguat terkait konflik Israel-Palestina belakangan ini.
Di satu pihak, ujar Saur, solidaritas kemanusiaan semakin meluas, terbukti dengan ludesnya tiket pada acara amal bagi warga Gaza, Palestina, di Stadion Wembley, London, Inggris.
Selain itu, tambah dia, pada Forum KTT di PBB terkait Palestina semakin banyak negara menyatakan dukungan kemerdekaan bagi Palestina.
Namun, Saur berpendapat, dua fenomena di atas belum dapat menyelesaikan konflik Israel-Palestina dalam waktu dekat.
Pasalnya, tegas Saur, persoalan yang dihadapi terlalu besar dan kemampuan kita terbatas. Untuk itu diperlukan upaya dan waktu yang cukup panjang untuk kita terlibat aktif dalam mengatasi setiap tantangan dalam upaya mengatasi konflik Israel-Palestina.
"Apakah mungkin kita membuka kedutaan di Palestina. Apakah mungkin untuk menerapkan politik bebas dalam menyikapi konflik Israel-Palestina, kita membangun perwakilan dagang seperti di Taiwan," ujarnya.
Menurut Saur, sejumlah opsi tersebut tampak seperti hal yang mudah, tetapi sulit untuk direalisasikan.