Presiden Prabowo Subianto. Foto: Metrotvnews.com/Kautsar.
M Rodhi Aulia • 6 April 2025 21:42
Jakarta: Presiden Prabowo Subianto dinilai telah mengantisipasi pergeseran bentuk konflik global, dari kekuatan militer konvensional menuju tekanan ekonomi seperti perang dagang. Kebijakan ekonomi yang ia ambil dianggap sebagai langkah jangka panjang membangun ketahanan negara dari sisi non-militer.
Pengamat pertahanan dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyatakan bahwa strategi ekonomi Prabowo bukan semata proyek sektoral, melainkan bagian dari kerangka besar pertahanan nasional. Dalam pandangannya, ekonomi kini harus dilihat sebagai kekuatan strategis negara.
“Presiden Prabowo sudah berpikir jauh ke depan untuk menjadikan ekonomi sebagai fondasi pertahanan nirmiliter yang menyatu dengan sistem keamanan nasional,” ujar Fahmi yang dikutip, Minggu, 6 April 2025.
Fahmi menjelaskan bahwa program seperti hilirisasi, pembangunan lumbung pangan, dan transisi energi merupakan fondasi dari ketahanan nasional yang menyeluruh. Menurutnya, kebijakan ekonomi ini tidak bisa hanya dilihat sebagai instrumen pertumbuhan semata.
Baca juga: Ketegangan Perang Dagang Bikin Investor Gelisah, Saham AS Terus Merosot
“Sejak awal, pemerintahan Prabowo tidak hendak membiarkan ekonomi kita hanya menjadi penyangga pertumbuhan global. Sektor strategis hendak ditransformasi menjadi pilar ketahanan nasional: dari industri pertahanan, pangan, energi, hingga teknologi. Kebijakan ekonomi harus dijalankan tidak hanya untuk mengejar angka, tetapi untuk membangun daya tahan dan daya saing,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya posisi Indonesia dalam geopolitik global yang kini kian kompetitif. Diplomasi perdagangan, kata dia, harus dikuatkan demi menegosiasikan posisi Indonesia secara strategis di rantai nilai dunia.
“Prabowo tidak sedang bermaksud membangun ekonomi yang sekadar kompetitif secara pasar, melainkan ekonomi yang berdaulat secara strategis. Dari hilirisasi hingga digitalisasi, dari pertanian modern hingga penguatan industri pertahanan—semuanya adalah bagian dari sistem pertahanan nasional yang holistik. Visi ini memerlukan konsistensi, ketegasan birokrasi, dan dukungan kolektif dari seluruh elemen bangsa,” tegas Fahmi.
Untuk mewujudkan visi tersebut, ia menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor. Tanpa koordinasi yang kuat, ia menilai kebijakan ekonomi berpotensi berjalan terpisah dan melemahkan daya tahan nasional.
“Sinergi antara kementerian ekonomi, pertahanan, luar negeri, dan BUMN harus dipercepat, agar kebijakan tidak berjalan dalam silo dan fragmentasi. Di tengah dunia yang makin saling bergantung, justru ketergantungan yang tidak seimbang akan menjadi kerentanan baru,” tutupnya.