Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich. Foto: EFE
Muhammad Reyhansyah • 15 August 2025 10:13
Tel Aviv: Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan dimulainya pembangunan permukiman E1 di kawasan Maale Adumim, proyek yang telah lama tertunda dan dinilai akan memisahkan Tepi Barat dari Yerusalem Timur. Kantor Smotrich menyebut langkah ini bertujuan untuk “mengubur” gagasan pembentukan negara Palestina.
Smotrich mengatakan bahwa proyek tersebut telah disepakati bersama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, meski belum ada konfirmasi langsung dari keduanya.
“Siapa pun di dunia yang hari ini berusaha mengakui negara Palestina akan menerima jawaban kami di lapangan. Bukan dengan dokumen atau pernyataan, tetapi dengan fakta. Fakta berupa rumah-rumah, fakta berupa permukiman,” ujarnya, seperti dikutip The New Daily, Jumat 15 Agustus 2025.
Proyek ini sempat dibekukan pada 2012 dan kembali ditangguhkan pada 2020 akibat penolakan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan kekuatan dunia lainnya yang menilai pembangunan E1 mengancam prospek perdamaian. Rencana tersebut mencakup pembangunan 3.401 unit rumah bagi pemukim Israel di antara Maale Adumim dan Yerusalem.
Pemerintah Palestina, negara-negara sahabat, serta kelompok advokasi mengecam rencana ini sebagai ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional. Mereka menilai, pemisahan wilayah tersebut akan menghancurkan upaya perdamaian yang didukung komunitas global.
Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Presiden Palestina, meminta Amerika Serikat menekan Israel agar menghentikan pembangunan permukiman. Qatar, yang menjadi mediator dalam perundingan gencatan senjata di Gaza, juga mengecam tindakan Smotrich sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional”. Hamas menyebut proyek ini bagian dari kebijakan “kolonial dan ekstremis” Israel, serta menyerukan rakyat Palestina untuk menentangnya.
Kelompok hak asasi Israel, Breaking the Silence, menuduh Smotrich memanfaatkan fokus dunia pada perang Gaza untuk memperluas permukiman. “Perampasan tanah dan perluasan permukiman ini tidak hanya akan semakin memecah wilayah Palestina, tetapi juga memperkuat sistem apartheid,” kata kelompok tersebut.
Sejak serangan Hamas pada 2023 yang memicu perang di Gaza, pembangunan permukiman di Tepi Barat meningkat tajam. Warga Palestina khawatir langkah ini akan menghilangkan peluang mereka membentuk negara merdeka. Selain pembangunan, kekerasan oleh pemukim juga meningkat, termasuk perusakan kebun zaitun, pemutusan akses air dan listrik, hingga serangan ke situs suci Kristen.
Saat ini sekitar 700.000 pemukim Israel tinggal di tengah 2,7 juta warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Israel menganeksasi Yerusalem Timur, meski langkah tersebut tidak diakui sebagian besar negara, dan belum secara resmi memperluas kedaulatan ke Tepi Barat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta mayoritas kekuatan dunia menilai perluasan permukiman merusak peluang solusi dua negara dengan memecah wilayah Palestina. Israel menolak tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan mengklaim memiliki ikatan historis serta nilai strategis atas wilayah yang disebutnya Yudea dan Samaria.
(Muhammad Reyhansyah)