Kudeta Militer Bayangi Thailand Setelah Penangguhan PM Paetongtarn

Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra. Foto: EFE-EPA

Kudeta Militer Bayangi Thailand Setelah Penangguhan PM Paetongtarn

Fajar Nugraha • 3 July 2025 20:05

Bangkok: Thailand kembali dihadapkan pada ancaman krisis politik setelah Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra resmi ditangguhkan dari jabatannya pada Selasa, 1 Juli 2025 oleh Mahkamah Konstitusi.

Penangguhan itu dilakukan setelah pengadilan menerima petisi dari 36 senator yang menuduh Paetongtarn melanggar etika dalam pembicaraan telepon dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, terkait sengketa perbatasan.
 

Baca: Wakil PM Thailand Gantikan Sementara Paetongtarn Shinawatra.


Meskipun Kepala Pertahanan Thailand membantah kemungkinan kudeta pada awal pekan ini, sejumlah analis menilai langkah militer tidak bisa sepenuhnya dikesampingkan, mengingat sejarah panjang intervensi militer di negeri tersebut.

Sejak berakhirnya monarki absolut pada 1932, Thailand telah mengalami 13 kudeta militer yang berhasil, termasuk kudeta tahun 2006 dan 2014 yang menggulingkan ayah dan bibi Paetongtarn, yakni Thaksin dan Yingluck Shinawatra.

“Banyak orang Thailand yang enggan menghadapi kudeta lagi. Tapi tentu, kita tidak bisa menutup kemungkinan itu,” ujar Kevin Hewison, Guru Besar Emeritus Asia Studies di University of North Carolina, seperti dilansir dari Channel News Asia, Kamis, 3 Juli 2025.

Militer dalam bayang-bayang kekuasaan

Dalam rekaman pembicaraan telepon yang bocor ke publik, Paetongtarn menyebut bahwa sejumlah elemen militer di negaranya adalah "lawan politik", pernyataan yang memicu kemarahan luas dan menyebabkan partai penting menarik diri dari koalisi pemerintah.

Analis politik dari Universitas Chulalongkorn, Thitinan Pongsudhirak, menyebut bahwa kudeta tetap menjadi opsi yang terbuka, terlebih jika situasi politik semakin tidak stabil dan pemerintahan tidak mampu berfungsi secara efektif.

“Entah itu intervensi dari lembaga yudisial atau militer, Thailand punya pola yang sistematis ketika menghadapi kebuntuan politik,” ujar Pongsudhirak.

Menambah spekulasi, kabinet Thailand melakukan perombakan pada hari yang sama dengan penangguhan Paetongtarn, tetapi posisi penting seperti Menteri Pertahanan dibiarkan kosong.

“Kekosongan ini membuka peluang bagi militer untuk bergerak, terlebih jika mereka menilai ada kekosongan kekuasaan atau ketidakstabilan politik,” tambah Hewison.

Aksi protes besar juga terjadi di Bangkok akhir pekan lalu, dipimpin oleh tokoh veteran seperti Sondhi Limthongkul yang secara terbuka menyatakan tidak akan menolak langkah militer, meskipun ia tidak mendukung tentara kembali memegang kekuasaan secara langsung.

Ekonomi Thailand dalam posisi rentan

Krisis politik ini terjadi saat ekonomi Thailand tengah menghadapi tekanan. Pada Kamis, 3 Juli 2025, Thailand dijadwalkan memulai negosiasi tarif dengan Amerika Serikat, menyusul kebijakan tarif impor 36 persen yang diberlakukan AS sejak April.

Jay Harriman, penasihat politik dan bisnis di Bangkok, menyebut peluang kudeta tetap rendah, namun tidak mustahil jika solusi politik gagal dicapai.

“Jika parlemen dan pengadilan tidak bisa menyelesaikan kebuntuan ini, militer bisa saja kembali mengambil alih,” kata Harriman.

Ia juga menyoroti lemahnya performa ekonomi Thailand dibandingkan negara-negara tetangganya. Pertumbuhan PDB dipangkas satu poin pada Juni lalu, akibat perang dagang global dan lemahnya konsumsi domestik. Sementara itu, Bank Sentral Thailand telah dua kali menurunkan suku bunga sejak April untuk memacu pemulihan.

“Ekonomi kita dalam posisi yang rapuh. Tantangan yang dihadapi lebih dalam dari sekadar pemotongan suku bunga atau penghapusan tarif oleh AS,” ujar Harriman.

(Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)