Konferensi pers pengungkapkan kasus grup facebook Fantasi Sedarah. Foto: Metrotvnews.com/Siti Yona Hukmana.
Jakarta: Perhatian publik kembali tertuju pada kasus menggemparkan yang dikenal sebagai grup Facebook “Fantasi Sedarah.” Polri menyebut korban dalam grup ini tak menyadari telah dilecehkan oleh pelaku, yang notabene adalah paman dan adik ipar sendiri.
“Korban tidak menyadari kalau mereka dilakukan pencabulan atau pelecehan terhadap dirinya,” ujar Brigjen Nurul Azizah, Kamis, 22 Mei 2025. Skandal ini bukan hanya menyingkap sisi gelap eksploitasi seksual dalam relasi kekerabatan, tapi juga menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat soal pemahaman dasar tentang inses itu sendiri.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan inses? Bagaimana pandangan ilmiah terhadap praktik ini, dan sejauh mana hukum mengaturnya di Indonesia? Berikut penjelasannya.
Definisi Inses
Berdasarkan tulisan Gillian Harkins dari University of Washington dalam buku
The International Encyclopedia of Human Sexuality tahun 2015, inses dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual, erotik, atau perkawinan yang terjadi antar anggota dalam satu kelompok kekerabatan (kinship group).
Menurut Harkins, inses adalah hubungan yang terjadi dalam struktur kekerabatan yang bisa dibentuk berdasarkan hubungan darah (consanguinity) maupun hubungan pernikahan (affinity), seperti antara ayah dan anak, kakak dan adik, atau antara paman dan keponakan.
Dalam kajian akademik, istilah "inses" juga dikaitkan dengan istilah "inses taboo" yang berarti larangan sosial dan psikologis terhadap hubungan semacam itu. Banyak agama melarang praktik inses karena dianggap bertentangan dengan moral dan hukum keagamaan.
Di sisi lain, negara-negara juga mengatur larangan inses berdasarkan perundang-undangan untuk melindungi stabilitas sosial, struktur keluarga, dan kesehatan publik.
Selain aspek sosial dan hukum, inses juga dianggap bermasalah secara biologis. Hubungan seksual dalam satu garis darah meningkatkan risiko pewarisan kelainan genetik, cacat bawaan, atau gangguan kesehatan pada keturunan.
Karena itu, larangan inses secara luas diyakini sebagai hasil dari kombinasi antara nilai moral, aturan budaya, dan ilmu medis.
Perspektif Antropologi
Dalam antropologi abad ke-19 dan ke-20, inses menjadi topik kajian penting. Charles Darwin (1871) menekankan dampak negatif dari perkawinan sedarah terhadap kualitas keturunan. Sementara itu, sosiolog Finlandia Edvard Westermarck (1891) memperkenalkan teori “imprinting,” yaitu penghindaran inses sebagai naluri biologis karena kebersamaan sejak kecil.
Di sisi lain, antropolog Claude Lévi-Strauss (1949) melihat tabu inses sebagai batas budaya dan alam, yang memunculkan sistem eksogami atau pernikahan di luar kelompok darah.
Dalam sudut pandang antropologi Amerika, David Schneider (1984) menekankan bahwa larangan inses lebih bersifat lokal dan spesifik pada struktur sosial tertentu, bukan aturan universal.
Perspektif Psikoanalisis
Psikoanalisis mengaitkan inses dengan ketidaksadaran dan trauma masa kecil. Sigmund Freud dan Josef Breuer (1895) melihat inses sebagai faktor penyebab gangguan psikologis.
Freud dalam teori “Oedipus Complex” menyatakan bahwa hasrat anak terhadap orang tua lawan jenis dibatasi oleh larangan simbolis yang dikenal sebagai “Law of the Father.” Jacques Lacan memperkuat gagasan ini dalam kerangka struktur bahasa dan identitas.
Namun, para kritikus seperti Jeffrey Masson dan Judith Butler mengkritik pandangan Freud karena terlalu menekankan pada heteroseksualitas dan generalisasi.
Gerakan feminis abad ke-20 menyatakan bahwa inses tidaklah jarang, terutama dalam rumah tangga patriarkal. Judith Butler dan Sandra Herman menyatakan bahwa inses seringkali merupakan bentuk eksploitasi seksual terhadap anak, bukan semata pelanggaran norma kekerabatan. Feminisme memandang inses sebagai ekspresi kuasa dalam sistem sosial yang timpang.
Aspek Hukum dan Regulasi
Secara hukum, banyak negara, termasuk Indonesia, melarang perkawinan maupun hubungan seksual antar kerabat dekat. Larangan tersebut bisa bersumber dari nilai agama, hukum negara, maupun pertimbangan kesehatan.
Menurut Bell (1993), meskipun beberapa negara tidak mengkriminalkan hubungan inses antara orang dewasa atas dasar suka sama suka, perlindungan hukum tetap kuat terhadap anak-anak atau individu yang tidak memiliki kapasitas menyetujui.
Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. UU Nomor 16 Tahun 2019, perkawinan antara kerabat darah dan kerabat semenda dilarang dan dapat dibatalkan oleh pengadilan. Jika terjadi kekerasan, eksploitasi, atau pornografi terhadap anak, pelaku juga dapat dikenai sanksi pidana sesuai UU Perlindungan Anak dan UU TPKS.
Inses bukan hanya pelanggaran norma budaya dan agama, tapi juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental korban, terutama anak-anak. Dari perspektif antropologi, psikoanalisis, hingga hukum, inses merupakan fenomena kompleks yang melibatkan relasi kuasa, trauma, dan struktur sosial.
Masyarakat perlu memahami dan mendeteksi bentuk-bentuk kekerasan tersembunyi yang muncul di balik relasi keluarga dan kekerabatan agar upaya pencegahan dan perlindungan dapat dilakukan secara maksimal.