Ketua KPU: Kemerdekaan Harus Dimaknai Sebagai Hak Menentukan Nasib Bangsa

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari. Foto: Metrotvnews/Misbahol Munir

Wawancara Khusus

Ketua KPU: Kemerdekaan Harus Dimaknai Sebagai Hak Menentukan Nasib Bangsa

Misbahol Munir • 16 August 2023 14:08

Jakarta: Indonesia akan menginjak usia ke-78 tahun kemerdekaan. Tepat 78 tahun yang lalu, bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan negara lain yang dirasakan berabad-abad. Meski demikian, bukan hal mudah untuk mengisi kemerdekaan yang sudah diraih para pejuang dan pahlawan bangsa. Ancaman konflik horizontal yang mengarah ke disintegrasi bangsa selalu menganga di depan mata.
 
Apalagi jelang Pemilu 2024. Pemilu idealnya diharapkan sebagai sarana integrasi bangsa. Faktanya, pemilu sebelumnya justru ditengarai menjadi pemicu disintegrasi bangsa.

Lantas, bagaimana KPU RI menyikapi dan mengantisipasi hal tersebut tak terulang?  Seperti apa kiat khusus penyelenggara pemilu itu dalam menggaet pemilih yang didominasi generasi milenial dan Gen Z?

Simak wawancara khusus Medcom.id/Metrotvnews.com dengan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari beberapa waktu lalu. Berikut wawancara lengkapnya:
 
Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan yang ke-78 pada 17 Agustus 2023, bagaimana KPU RI memaknai kemerdekaan ini?
 
Yang harus kita pahami deklarasi atau Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu adalah satu momentum sejarah yang sangat bermakna bagi bangsa Indonesia. Karena di situ memproklamasikan kemerdekaan dari penjajahan. Tapi, lebih dari itu semua, bahwa itulah perayaan warga Indonesia dalam rangka merayakan kebebasan untuk dimaknai sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Karena untuk mengambil hak menentukan nasib sendiri sebuah bangsa itu bagian dari hak asasi manusia dan itu pelajaran paling penting.

Meraih kemerdekaan atau kebebasan harus diperjuangkan bukan pemberian. Maka, kalau kita baca sejarah kemerdekaan Indonesia pada waktu itu sudah pernah ada pembicaraan, Jepang akan memberikan kebebasan buat Indonesia. Di situlah kemudian ada rintisan, sebelum terbentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Jepang menginisiasi Kemerdekaan Indonesia yang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai, Itulah cikal bakal munculnya BPUPKI.
 
Perayaan kemerdekaan itu selalu rangkaian, yaitu tanggal 17 dan 18 Agustus. Tanggal 17 Agustus itu simbolik kemerdekaan Indonesia sebagai hari lahir dan sebagai sebuah negara. Tapi, di sisi lain, secara legal formil kapan konstitusi ditulis atau ditetapkan yaitu tanggal 18 Agustus. Jadi ini sebuah rangkaian yang enggak bisa dipisahkan.

Kalau membaca proklamasi kita yang kemudian dituangkan dalam dokumen legal formil dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada dasarnya kemerdekaan adalah hak semua bangsa. Dalam konteks kepemiluan, setidak-tidaknya hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara harus dimaknai secara sungguh-sungguh. Ini dalam konteks Indonesia sudah merdeka. Kalau dalam konteks zaman perjuangan sama dengan hak untuk menentukan nasib sendiri sebuah bangsa.

Jadi, ketika menggunakan hak pilih, kita sedang menggunakan hak untuk menentukan nasib di masa depan. Kenapa saya katakan begitu? Pengisian jabatan kenegaraan yang dianggap sah dan legal itu adalah melalui pemilu. Sistem pemerintahan kita sebagaimana yang diamanatkan di konstitusi adalah sistem presidensial. Ciri-cirinya, di antaranya adalah presiden menduduki jabatan sebagai kepala negara, head of the state atau juga sebagai kepala pemerintahan, chief of government. Dalam sistem presidensial, presiden menduduki dua jabatan. Di satu sisi sebagai kepala negara, di sisi yang lain sebagai kepala pemerintah.
 
Ciri kedua, presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu dan amendemen konstitusi. Ada beberapa konstitusi meneguhkan sistem presidensial di antara simbolnya adalah memilih presiden secara langsung. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang memilih kepala eksekutif itu adalah parlemen.

Jadi, dalam pandangan kami, perayaan hari kemerdekaan dalam kepemiluan ini kita jadikan momentum pemilu sebagai penggunaan hak warga negara menentukan nasib bagi bangsa ini ke depan. Berdasarkan hukum, maka simbolnya pengisian jabatan presiden, anggota DPR, DPD, dan seterusnya, serta mereka-mereka yang terpilih sebagai kepala negara/kepala pemerintahan dan juga sebagai wakil rakyat ini yang akan menentukan nasib kita dalam lima tahun ke depan.

Mayoritas pemilih pada 2024 nanti atau hampir 60% pemilihnya adalah generasi milenial dan gen Z. Sementara generasi ini dinilai kelompok apatis dengan politik atau apolitis. Bagaimana KPU mendorong mereka agar tidak apolitis dan lebih partisipatoris?
 
Generasi-generasi sekarang ini yang perlu disurvei, pertanyaan pertama yang harus diajukan mereka tahu enggak konsep tentang negara? Kedua, mereka tahu enggak tentang konsep negara hukum? Lalu, mereka tahu enggak tentang konsep negara demokrasi? Berdasarkan indikator-indikator di atas, kalau diturunkan misalkan ada rotasi kepemimpinan nasional lima tahunan, pengisian jabatannya melalui pemilu. Ini harus disurvei dan harus diketahui. Pengalaman saya berelasi dengan anak-anak muda itu hidupnya boleh dikatakan ingin selalu update informasi dan ketergantungan kepada gadget atau internet itu tinggi.

Dengan bisa mengakses segala macam info, mereka merasa tanpa kehadiran negara pun bisa hidup, bisa berinteraksi dengan segala model orang secara langsung, apalagi melalui online. Duduk di rumah lalu pesan makanan datang sendiri, malas bersih-bersih rumah bisa pesan tukang bersih-bersih rumah datang sendiri. Mau pergi ke mana pesan taksi tinggal pesan, taksinya datang sendiri. Ini kesannya bagi mereka enggak merasakan kehadiran negara.
 
Saya kira yang paling penting dalam konteks pemilu adalah pendidikan pemilih. Ini bukan hanya tanggung jawab KPU, tapi tanggung jawab pemerintah, DPR, dan partai politik. Pendidikan politik ini luas. Seperti meneguhkan kembali tentang eksistensi negara.

Sebenarnya mereka tahu enggak tentang konsep negara demokrasi, negara hukum, dan negara Pancasila? Ini penting untuk diselidiki atau disurvei. Setelah tahu barulah kemudian kita bergerak untuk pendidikan pemilih dalam artian luas. Kalau dalam pendidikan pemilih untuk pemilu hanya sebagian kecil saja dalam konteks besar pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan.

Kalau sosialisasi pemilu lebih sederhana lagi ada informasi kepemiluan tentang kapan tanggal memilih, apakah sudah terdaftar atau belum, memeriksa dirinya atau namanya ke link-link website yang disediakan KPU, cek DPT online ke kpu.go.id kalau diakses dan nanti tinggal memasukkan NIK lalu diklik nanti ketahuan sudah terdaftar apa belum atau sudah terdaftar di TPS mana. Kemudian sosialisasi pendidikan pemilih dalam rangka memastikan pemilih ketika nyoblos itu benar sehingga dikategorikan sah. Kalau kita lihat di Pemilu 2019, angka ketidaksahannya surat suara masih termasuk tinggi juga.

Tapi, yang jauh lebih penting dari itu semua adalah pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan politik supaya generasi muda ini yang hidupnya sangat tergantung dengan teknologi internet atau teknologi informasi memiliki kesadaran bahwa kehadiran negara itu penting. Juga menjaga keberlanjutan negara di antaranya adalah melalui pengisian jabatan kenegaraan yang dilakukan selama lima tahunan ini. Supaya pemimpin yang dipilih itu kontekstual, tahu konteks masyarakat yang dipimpin, tahu konteks perubahan global, tahu konteks perubahan iklim. Sehingga punya cita-cita atau visi bagaimana memimpin negara ini. Situasi seperti ini, eksistensi negara itu harus diketahui generasi muda sebagai pemilih.
 
Apakah ada kekhawatiran dari KPU mengantisipasi minimnya partisipatoris dari generasi milenial dan gen Z pada Pemilu 2024 nanti?
 
Kalau menurut survei dari berbagai macam lembaga yang saya ikuti, lebih dari 50% pemilih pada 2024 adalah anak muda. Mayoritas atau sekitar 80?ri mereka menyatakan akan hadir berpartisipasi untuk pemilu. Itu fix semua lembaga saya cek angkanya 80%. Yang agak kontras adalah ketika ditanya mau milih partai apa atau mau milih calon presiden yang mana itu mulai gamang. Karena ada keterbatasan informasi tentang aliran ideologi partai politik. Termasuk visi-misi dan program kerja partai. Generasi muda ini mempertanyakan apa yang secara drastis membedakan karakter sebuah partai dengan partai yang lain. Informasi berkaitan dengan ini sesungguhnya kalau kita baca hasil survei itu justru penting bagi generasi muda yang akan menjadi pemilih pemula nanti. Pemilih pemula yang kesempatan pertama dia menjadi pemilih di 2024.

Di sini, KPU bisa masuk, partai politik bisa masuk, dan pasangan calon presiden bisa masuk. Hanya saja KPU menyampaikan informasi tentang ini sangat terbatas. Sosialisasi tentang nama-nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sangat terbatas. Apakah visi misi pasangan calon akan kita umumkan dan sebar supaya pemilih punya keyakinan ketika mau memilih atau sudah membandingkan antara visi misi dan program pasangan calon. Supaya calon pemilih punya keyakinan untuk menentukan pilihanya.
 
Di situlah para calon, partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk meyakinkan para pemilih untuk memilih dirinya yaitu pada masa kampanye. Kalau sekarang masa sosialisasi hanya menyampaikan informasi saja. Yang membedakan, sosialisasi hanya menyampaikan sebuah informasi tetapi kampanye lebih dari sekadar menyampaikan informasi, juga ajakan memilih. Ajakan memilih ini supaya orang tertarik memilih partai atau para calon mesti harus meyakinkan bahwa partainya, pasangan calon presidennya, punya komitmen untuk perkembangan Indonesia di masa depan. Di situlah ruang tentang bagaimana 80% hasil survei tadi, yakni pemilih pemula ini punya keyakinan akan hadir memilih. Tetapi di waktu bersamaan mereka masih menyisakan pertanyaan siapa yang mau dipilih, profilnya seperti apa, meyakinkan enggak untuk dipilih menjadi pemimpin bangsa.

Di situlah, partai politik peserta pemilu juga punya kesempatan yang luas meyakinkan pemilih. Ruang itu menurut saya yang perlu diisi secara maksimal. Bisa menggunakan berbagai macam media, apakah televisi, radio, koran, majalah, atau lewat media sosial. Apalagi, trend sekarang orang beralih ke media sosial. Ini ruang yang bisa digunakan untuk menyampaikan informasi profil kandidat, profil partai politik, visi misi, dan program kerja.
 
Apakah ada kiat khusus atau strategi khusus untuk menggaet para pemilih pemula?
 
KPU mencoba merumuskan beberapa hal. Pertama, mendefinisikan tentang siapa audiens penerima pesan kepemiluan. Kedua, kira-kira substansi atau pesan kepemiluan semacam apa yang diperlukan audiens sehingga itu kita jadikan bahan untuk sosialisasi pendidikan pemilu. Ketiga, mengidentifikasi pilihan media. Pilihan media ini kita sesuaikan dengan audiens yang akan menerima pesan itu. Karakternya seperti apa, usianya seperti apa, dan tinggalnya di mana. Katakanlah karakternya metropolis atau perkotaan, tentu berbeda dengan masyarakat di pedesaan dan lain-lain.

Kita harus memilih dan mengidentifikasi tentang itu. Supaya nanti pilih media tepat. Mungkin di sebagian tempat lebih senang mendengarkan radio karena tanpa harus visual. Mendengarkan itu bisa disambi ngapain aja seperti sambil bekerja dll. Tapi, ada segmen masyarakat yang dari durasi waktunya bisa dapat informasi dari televisi. Ada juga yang melalui forum-forum kebudayaan.

KPU sudah menyiapkan film layar lebar tentang pesan-pesan kepemiluan yang judulnya Kejarlah Janji. Film ini digarap sutradara kenamaan Garin Nugroho. Agustus nanti akan kita lakukan peluncuran film tersebut dan juga kita sebarluaskan ke daerah melalui jaringan KPU, sekolah-sekolah, kampus-kampus termasuk ke Pemda agar difasilitasi untuk disetel. Kita juga minta tolong ke sejumlah perusahaan mengiklankan produknya di kampung-kampung sehingga mereka menyetel film layar lebar.
 
Bagaimana pandangan Anda tentang pemilu dari tahun ke tahun?
 
Pertama, dari segi desain kepemiluan dari waktu ke waktu kalau pascaperubahan konstitusi itu saya menyebut era konsolidasi demokrasi. Kalau Pemilu 1999 saya menyebut pemilu transisi demokrasi dari rezim yang dianggap otoriter menuju rezim yang lebih demokratis. Biasanya, di pemilu transisi kayak gitu ada perilaku pemilih yang sering disebut dengan protest vote. Ini bukan dalam arti negatif tetapi perilaku memilih yang ingin mengungkapkan pilihannya dengan beramai-ramai atau berbondong-bondong. Ingin berpartisipasi menunjukkan era berikutnya ini arahnya ke mana. Dan ternyata kalau kita amati tingkat partisipasinya tinggi pada 1999.

Dari pemilu ke pemilu begitu masuk era konsolidasi demokrasi 2004, 2009, 2014, dan 2019. Kalau kita lihat dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan yang lain itu sudah ada situasi protest voting. Sekali lagi ini bukan dalam arti negatif, tetapi orang atau pemilih ingin menunjukkan arah masa depan ini maunya dipimpin siapa. Itu akan terlihat misalkan Pemilu 2004 dari eranya Ibu Megawati ke Pak SBY, terus Pak SBY dua periode di 2014. Pasca Pak SBY menuju Pak Jokowi ini juga akan terjadi lagi. Kemungkinannya polanya berulang di Pemilu 2024, Pak Jokowi sudah dua periode. Sehingga sangat mungkin terjadi lonjakan pemilih yang sangat signifikan.

Entah memilihnya siapa, kita belum bisa memprediksi karena sekarang saat wawancara ini calon presidennya belum bisa dipastikan dan pendaftarannya masih Oktober nanti. Tetapi perilaku memilih bisa kita diproyeksikan dan diprediksi karena kecenderungan bakal pemilih melonjak. Kedua kalau kita perhatikan di era konsolidasi demokrasi itu dimulai dari adanya redesigning the state. Mendesain ulang ketatanegaraan melalui konstitusi.

Dulu, presiden dipilih MPR, lalu didesain menjadi dipilih langsung lewat pemilu. Kemudian disiapkan mekanisme kalau presiden dianggap melanggar hukum, mekanismenya bagaimana itu juga diatur dalam konstitusi. Kemudian yang ketiga, di konstitusi yang lama enggak ada istilah pemilu dan partai politik. Lalu, di konstitusi hasil amendemen muncul gagasan tentang partai politik dan muncul gagasan tentang pemilu secara konseptual ditulis dalam konstitusi.

Berikutnya, di konstitusi lama itu masa jabatan presiden lima tahun, tapi setelah itu dia dapat dipilih kembali. Titik! Ternyata tidak ada batasannya. Tapi, setelah amendemen konstitusi ada batasannya. Presiden dan wakil presiden menduduki masa jabatan selama lima tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali untuk satu periode pada masa jabatan yang sama. Artinya ada pembatasan. Ini saya kira menjadi payung konstitusi paling besar dalam perkembangan demokrasi.

Pada era pemilu konsolidasi demokrasi kalau kita lihat dari masing-masing pemilu, dari Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019 itu ada perkembangannya. Dan itulah ciri dari konsolidasi demokrasi, mencoba membangun desain ketatanegaraan yang nanti pada ujungnya dianggap tepat. Pertama, pemilu 2004 pertama kali memilih presiden secara langsung dan akhirnya dipraktikkan dalam empat pemilu selanjutnya, mulai 2004-2019. Pada waktu itu pemilu legislatif dengan pemilu presiden masih dipisah, artinya diselenggarakan di waktu yang berbeda. Itu pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014. Dan pada 2019 pertama kali pemilu presiden dan pemilu legislatif baik DPR, DPD, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota dijadikan satu, dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ada perkembangan di situ.

Pada 2005 pertama kali diselenggarakan memilih kepala daerah secara langsung menggunakan pilkada langsung sampai dengan 2020. Tapi di tengah-tengah itu mulai 2015, 2017, 2018 dan terakhir 2020 itu dengan pilkada serentak. Artinya, masing-masing kepala daerah ditata keserentakan untuk pemungutan suaranya. Tapi belum tercapai pelantikan serentak.

Pada 2024, pilkadanya diserentakkan untuk pemilihan gubernur, bupati, wali kota se-Indonesia dalam rangka mengejar memulai masa jabatan lima tahunnya itu bersamaan dengan DPRD. Selama ini, DPRD siklus lima tahun ini sudah tertata, sementara kepala daerah lima tahunan itu berserakan. Ini yang akan mencoba ditata oleh pembentuk undang-undang melalui berbagai macam undang-undangnya ditata supaya ada keserempakan tidak saja dalam hal pemungutan suara di pilkada tapi juga dalam pelantikan.

Di 2024 nanti adalah pengalaman pertama di tahun yang sama ada pemilu serentak nasional. Pada 14 Februari itu sama desainnya dengan 2019, memilih presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten/kota di waktu yang sama. Yang membedakan dengan Pemilu 2019 di 2024 nanti ada pilkada serentak. Makanya desainnya kepala daerah atau siapa pun yang ikut pilkada 2020 harus punya kesadaran bahwa masa jabatannya tidak penuh lima tahun. Begitu nanti dilantik kepala daerah hasil Pilkada 2024 di situlah berakhir atau berhentinya masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020.

Jadi enggak genap lima tahun karena itu juga dibolehkan sepanjang diatur dalam undang-undang. Dalam rangkanya apa? Untuk mengatur ulang atau mendesain ulang tentang keserempakan pengisian jabatan kepala daerah, bukan sekadar mencoblosnya yang serentak tapi pelantikannya juga serentak. Itu yang saya katakan dalam era konsolidasi demokrasi itu ada redesigning the state (mendesain ulang sistem kenegaraan) kita, di antaranya melalui pemilu melalui pemilu dan pilkada.

Pemilu 2019 kemarin melampaui antusiasme atau melampaui dari target partisipasi pemilih atau voting turn out atau kehadiran pemilih sebagaimana ditargetkan KPU. Target KPU 77,5?n yang hadir 81,8%. Partisipasi tinggi ini di antaranya karena desain keserentakan. Sehingga timnya capres bergerak, dengan sistem pemilu proporsional terbuka (dipilih langsung) caleg-caleg dan timnya semuanya bergerak. Sehingga kemudian kehadiran pemilih juga tinggi.

Karena masing-masing peserta pemilu punya tim penggerak pemilih dan itu nanti akan terulang di 2024 karena by design tadi. Demikian juga sangat mungkin partisipasi pemilih untuk Pilkada 2024 juga akan tinggi dan melampaui target 77,5 persen hari pemungutan suaranya serentak nasional dan hari itu diliburkan untuk konsentrasi memilih dan di semua daerah ada pilkada. Apalagi, ditambah pemilu nasional, fenomena tentang protest voting tadi. Karena ini adalah era terakhir Pak Jokowi sudah dua periode, dan tentang siapa nanti yang akan memimpin ke depan tentu akan ada antusiasme tinggi.

Sekarang tugas tanggung jawabnya ada di parpol  karena kecenderungan perilaku pemilih itu ditentukan dua hal. Satu, siapa profil orang yang dicalonkan. Kedua, visi misi programnya partai, ini untuk calon anggota DPR, DPRD, dan visi misi dan program kerjanya pasangan calon presiden untuk pemilu presiden. Satu-satu pintu pencalonan hanya partai politik. Sehingga kembali kepada tugas dan tanggung jawabnya partai politik untuk menyediakan calon-calon pemimpin masa depan, calon-calon wakil rakyat masa depan hasil Pemilu 2024 yang standar kualitasnya terpenuhi dan sesuai kehendak rakyat. Pemilih kalau yang dipasang atau yang dicalonkan itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki pemilih mereka bisa menggeser pilihannya kepada partai lain atau calon lain.

Karena itu kami berharap partai politik juga berinteraksi erat dengan para pemilih. Menyerap informasi, seperti calon seperti apa yang diinginkan lalu kalau dikonkretkan profil orang itu siapa yang diharapkan. Terus orang itu dalam lima tahun ke depan kalau memimpin pemerintahan yang diinginkan akan mengerjakan apa. Partai politik harus mendengar betul suara rakyat atau denyut nadi rakyat.

Kami juga berharap rakyat intensif berkomunikasi dengan partai, karena sekali lagi partai politik di era konsolidasi demokrasi ini menduduki peran penting. Pengisian-pengisian jabatan kenegaraan hampir semuanya bisa dikatakan melalui partai politik. Sehingga, masyarakat harus berinteraksi aktif menyampaikan gagasan, aspirasi, dan menyampaikan kriteria calon presiden, calon gubernur, bupati, wali kota calon anggota DPR, dan DPRD. Rakyat harus terus berinteraksi aktif.

Jangan kemudian hubungannya negatif. Dalam arti begini, rakyatnya berprasangka negatif pada partai dan partainya bersikap pragmatis kepada rakyat. Akhirnya, yang terjadi hubungannya adalah transaksional. Sebisa mungkin bukan itu yang kita harapkan. Tetapi ada interaksi sehat, dinamis, interaksi yang dewasa dalam berpolitik antara partai dan rakyat.

Saya sampaikan kepada teman-teman di mana pun. Teman-teman jangan biarkan partai berjalan sendirian, partai harus dikawal, harus sering disapa, dan partai harus sering dikasih masukan. Supaya partai mengakar betul di masyarakat, bukan partai yang mengambang.
 
Kalau berkaca pada Pemilu 2019, banyak penyelenggara yang tumbang berjatuhan bahkan meninggal dunia. Apa antisipasi dari KPU agar peristiwa serupa tidak terulang?
 
Salah satu sorotan tajam kepada penyelenggara Pemilu 2019 itu banyak penyelenggara pemilu di badan ad hoc sakit dan meninggal. Tentu kami tidak tinggal diam. Berdasarkan situasi itu ada berbagai reseacrh yang dilakukan sejumlah lembaga seperti UGM, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tim dari Kemenkes. Temuan yang menonjol dari semuanya itu, satu yang meninggal rata-rata umurnya di atas 50 tahun. Kedua, yang meninggal itu rata-rata punya komorbid, penyakit bawaan dan komorbid ini kalo dibuat rangking, peringkat pertama itu serangan jantung, yang kedua adalah tekanan darah tinggi, dan ketiga diabetes. Berdasarkan itu kita evaluasi dan kita gunakan untuk perbaikan ke depannya. Makanya pada Pilkada 2020, pada situasi covid-19 kita batasi penyelenggara pemilu usia 50 tahun ke atas. Kemudian harus sehat. Makanya kita minta pemda-pemda untuk memberikan jaminan kesehatan untuk penyelenggara pilkada, karena penyelenggara itu adalah warga daerah setempat.

Termasuk ke depan untuk badan ad hoc seperti KPPS, petugas di TPS itu kita minta Pemda (Pemerintah Daerah) supaya memberikan jaminan kesehatan. Syaratnya untuk penyelenggara Pemilu 2024 maksimal umur 55 tahun. Kita berikan kelonggaran dibanding dengan situasi covid-19 kemarin. Syarat lainnya juga sehat. Kita minta Pemerintah Daerah memeriksa kesehatan teman-teman KPPS sebelum bekerja. Ketiga, ada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Inpres menginstruksikan sejumlah menteri dan semua kepala daerah baik gubernur, bupati, dan wali kota. Khususnya instruksi kepada kepala daerah kelompok sasaran yang harus mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan adalah penyelenggara pemilu.

Menindaklanjuti ini KPU langsung berkoordinasi dengan Mendagri minta tolong supaya mengarahkan kepala daerah mengakomodasi penyelenggara pemilu untuk diikutsertakan dalam jaminan sosial ketenagakerjaan. Juga kami berkirim surat kepada KPU provinsi, kabupaten, kota meminta berkoordinasi dengan Pemda setempat untuk mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga dianggarkan di APBD masing-masing.

Toh, yang menjadi penyelenggara Pemilu adalah warga daerah setempat. Kalau Pemda memberikan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi  penyelenggara pemilu sama dengan melindungi warganya sendiri. Selain aspek personal ini adalah aspek SDM. Aspek teknis kepemiluan, setelah kita teliti, evaluasi ternyata beban kerja KPPS itu kurang lebih di H-1 mengurusi logistik juga pas di hari H adalah pencoblosan, H+1 penghitungan suara. Kita sedang menyimulasikan bagaimana agar beban kerja teman-teman KPPS tidak terlalu berat. Kalau durasi mencoblos sebenarnya sama saja. Baik Indonesia WIT, WITA, dan WIB sama-sama sampai jam 13.00, artinya durasinya jam 07.00 sampai jam 12.00. Durasinya sekitar enam jam.

Durasinya yang bisa beda-beda adalah penghitungan suara. Di antaranya, KPU melakukan simulasi tentang penghitungan suara di TPS dibagi dua forum. Forum satu untuk menghitung suara pemilu presiden dan DPD. Forum yang lain untuk menghitung suara pemilu anggota DPR RI, provinsi, kabupaten dan kota. Ini dijadikan satu rumpun karena peserta pemilunya sama, yaitu parpol. Itu salah satunya agar beban kerja teman-teman KPPS tidak berat. Kedua, hasil penghitungan suara itu dituangkan di administrasikan dalam formulir yang namanya dulu disebut formulir C-1. Kalau dalam pilkada Formulir C Hasil, yang bentuknya plano.

Di Pilkada 2020 sudah kita gunakan dan kita kembangkan Sirekap, sistem informasi rekapitulasi hasil penghitungan suara. Jadi, di dalam HP para petugas KPPS menginstall aplikasi Sirekap dan di dalam aplikasi Sirekap itu ada fungsi foto. Jadi nanti hasil penghitungan suara yang di kertas plano difoto menggunakan aplikasi Sirekap kemudian dikirim ke data center KPU. Ini di antaranya untuk mengurangi beban dan juga untuk memastikan bahwa yang diadministrasikan itu hasil suara yang orisinal.
 
Kertas plano itu orisinal kemudian nanti disalin di kwarto. Yang di kwarto itu statusnya sudah salinan. Ketika menyalin karena beban kerjanya berat, kecapean, dan konsentrasi menurun, hal-hal semacam itu sangat mungkin terjadi. Ada salah tulis, salah hitung, maka salah satu cara mengantisipasinya supaya kesalahan-kesalahan itu tidak terjadi dengan cara yang di-capture atau difoto adalah C 1 Palno. C-1 plano atau C hasil yg plano nanti dikirim ke data center KPU.
 
Selain itu, KPU punya kewajiban menyampaikan salinan hasil penghitungan suara di TPS kepada peserta pemilu. Pengalaman 2019 kalau semua saksi pasangan calon harus dapat katakanlah kita bikin rata-rata peserta pemilu DPD itu 20, partai politiknya ada 18, pemilu yang peserta partai politik ada 3, (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) ini bikin salinannya berapa? 18x3=54 salinan. Kemudian, ditambah 20 DPD dan 2 pasangan capres total 76 salinan. Jadi beban berat KPPS adalah menyalin. Maka untuk mengantisipasi itu kita siapkan biaya fotokopi di TPS. Sehingga teman-teman KPPS nanti untuk menyalin dari yang C-1 plano atau C hasil yang plano itu ke dalam formulir yang bentuknya folio atau kwarto itu yang istilahnya master aslinya yang kemudian difoto copy. Sehingga, beban kerja teman-teman KPPS semakin ringan.

Itu salah satu di antara strategi yang akan di tempuh untuk meminimalisir teman-teman KPPS berjatuhan di lapangan nantinya. Demikian juga kalau pemilu-pemilu sebelumnya anggota KPPS tujuh orang dan yang lalu-lalu yang dibimtek cuma satu orang. Ke depan rencananya tiga orang kalau bisa pinginya empat orang. Tiga itu ada ketua KPPS yang menentukan sah dan tidak sahnya surat suara.

Kemudian KPPS nomor tiga dan nomor empat tugasnya mengadministrasikan hitungan hasil. Tapi kalau rencana penghitungan suara di TPS kita bikin dua panel berarti yang akan kita latih setidaknya empat orang. Dua orang ada di panel satu di pemilu presiden dan DPD RI. Dua orang lagi yang ada di panel pemilu DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota. Strateginya di antaranya itu untuk memudahkan juga meringankan beban teman-teman KPPS.
 
Terakhir, apa pesan Anda terhadap para kontestan-kontestan yang akan bertarung di Pemilu 2024 di HUT ke-18 RI?
 
Pada dasarnya, pemilu dan pilkada itu adalah arena konflik yang dianggap sah dan legal untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Metode untuk mengisi jabatan kenegaraan yang dianggap legal dan sah itu dan pemilu adalah karena konflik. Mengapa saya katakan arena konflik karena kursinya terbatas, yang berminat banyak. Pastilah ada konflik di situ. Tetapi, yang harus kita jaga adalah konflik itu tidak muncul ke permukaan dalam bentuk kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal.

Alhamdulillah di Indonesia ini boleh dikatakan enggak ada yang namanya penculikan politik, penyanderaan politik, enggak ada yang namanya pembunuhan politik dalam arti fisik. Beda dengan negara lain, di Filipina, Thailand, dan terbaru di Ekuador capres ditembak. Sebelumnya lagi, dulu di Meksiko juga ada kejadian serupa. Ini harus kita syukuri bahwa Indonesia dalam konteks rotasi kekuasaan lima tahunan melalui pemilu relatif aman dan damai. Ini harus kita jaga hanya saja yang masih sering muncul itu adalah kekerasan dalam bentuk verbal, pakai fitnah, berita palsu, menyerang lawan politiknya dengan menggunakan politik SARA, gara-gara beda agama, ras, suku, dan antargolongan. Itu yang dieksploitasi dijadikan amunisi untuk menyerang lawan politik. Itu dilarang undang-undang pemilu dan ada sanksinya. Sebisa mungkin kita bersama-sama mengendalikan diri tidak menggunakan instrumen kekerasan dalam pemilu maupun pilkada. Baik itu instrumen kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Itu yang harus kita jaga.

Kedua, sering kali orang menyampaikan pandangan bahwa pemilu tidak sesuai dengan Pancasila. Karena pancasila yang dianut adalah musyawarah mufakat. KPU melihat pemilu ini adalah implementasi dari nilai-nilai Pancasila. Namanya musyawarah itu mengandaikan bahwa masyarakat ini majemuk. Masing-masing punya pandangan, gagasan, pemikiran, dan pilihan yang berbeda-beda tetapi pada intinya bermufakat bahwa sistem yang kita anut ini untuk pemilu presiden, sistem dengan suara terbanyak. Untuk pemilu DPR sistem proporsional terbuka ini kita sepakati. Bahkan sudah ada hitungannya kalau partai dapat suara sekian maka suara dikonversi jadi sekian kursi. Calon yang akan menduduki adalah yang peroleh suara peringkat paling tinggi. Ketika orang bersepakat dengan aturan itu, mestinya juga harus siap mental menang dan kalah. Termasuk siap untuk kalah enggak dapat kursi. Kalau sudah bersepakat seperti itu kalau ada perselisihan, komplain sudah disiapkan mekanismenya. Disiapkan Bawaslu, PTUN, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Jalur-jalur komplain, sengketa melalui jalur damai yaitu peradilan.

Dengan begitu sebetulnya pada hari H, masyarakat Indonesia sudah dimintai pendapat semua dalam hal ini akan milih siapa yang dituangkan dalam surat suara. Dalam pandangan kami ini sudah masuk kategori musyawarah mufakat. Mufakat tentang sistem yang digunakan, mufakat bahwa kalau orang dapat suara sekian dia menang. Mufakat kalau partai dapat suara sekian akan dapat kursi sekian. Sehingga kami dapat mengambil kesimpulan bahwa pemilu ini adalah musyawarah besar rakyat Indonesia.

Selama ini, efek dari Pilkada 2017 yang menggunakan instrumen SARA, saling menyerang lawan politik, dan kemudian berkelanjutan isu itu masih dikelola orang-orang berkepentingan dimasukkan dalam isu Pemilu 2019, itu sebisa mungkin nanti kita tepis bahwa pemilu berefek kepada pemulihan sosial kita balik menjadi pemilu sebagai sarana integrasi bangsa dan ini sebetulnya by design kepemiluan. Oleh design kepemiluan sangat dimungkinkan pemilu sebagai sarana integrasi bangsa. Ilustrasinya begini, pencoblosan nanti Rabu, 14 Februari 2024 menurut Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dalam durasi 35 hari ke depan setelah 14 Februari itu sudah harus ada penetapan hasil pemilu tingkat nasional kurang lebih itu jatuhnya pada tanggal 20 atau 21 Maret.

Ketika terjadi penetapan hasil pemilu nasional sudah bisa diketahui dalam konteks keperluan pilkada partai apa dapat suara berapa untuk dapat kursi berapa di DPRD provinsi maupun kabupaten kota. Itu nanti dijadikan model bagi partai politik untuk pencalonan dalam pilkada. Syaratnya, kalau lewat jalur partai politik minimal punya kursi 20 persen dari total kursi DPRD. Kalau total kursinya 45 maka minimal partai itu harus punya kursi 9 untuk bisa mandiri mencalonkan kepala daerah. Kalau kursi DPRD provinsi misalkan 100 maka 20 persennya minimal harus punya 20 kursi untuk bisa mandiri mencalonkan di pilkada. Namun, kalau ada partai yang memperoleh kursi enggak sampai batas minimal 20 persen baik di kabupaten maupun provinsi mau enggak mau harus menggandeng tangan temannya yang lain (parpol lain) untuk bergandengan tangan, bergabung membangun koalisi.
 
Padahal, kita tahu partai ini baru saja kemarin pada 14 Februari 2024 masing-masing menjadi lawan politik bertarung untuk membuat memperoleh kepercayaan pemilih. Masing-masing bertarung untuk meraup suara sebanyak-banyaknya supaya bisa dikonversi menjadi kursi sebanyak-banyaknya. Masing-masing bertarung, head to head masing-masing partai. Tapi begitu mau pilkada partai harus sadar diri, dapat kursi berapa. Kalau kursinya enggak mencapai threshold minimal untuk pencalonan mau enggak mau menggandeng orang atau parpol yang kemarin masing-masing jadi lawan politik. Itu yang kemudian kami baca bahwa desain keserempakan pemilu di tahun yang sama dengan desain keserempakan pilkada hikmahnya di antaranya pemilu menjadi sarana integrasi bangsa.
 
Jadi kemungkinan untuk pembelahan sosial bisa tertolak gegara masing-masing partai yang berkepentingan untuk suara atau kursi segera berangkulan kembali untuk berkoalisi mencari kawan dalam konteks pilkada.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)