Gajah-Gajah Aceh Pahlawan Pascabencana dari Tsunami Hingga Banjir Bandang

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) jinak yang ditunggangi mahout membersihkan puing kayu yang menutupi jalan dan permukiman warga akibat bencana alam di Desa Meunasah Bie, Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). ANTARA/Rahmat Fajri

Gajah-Gajah Aceh Pahlawan Pascabencana dari Tsunami Hingga Banjir Bandang

Whisnu Mardiansyah • 9 December 2025 18:22

Banda Aceh: Fajar pada Selasa, 8 Desember 2025, menyinari kepiluan yang masih membekas di Gampong Meunasah Bie, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya. Suara mesin truk merah yang berhenti memecah kesunyian pagi, membawa kehadiran tak terduga di tengah reruntuhan akibat banjir bandang 26 November lalu.

Dari truk itu, turunlah dua raksasa jinak Mido dan Ajis, dua gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang dengan tenang dituntun mahoutnya. Kehadiran mereka langsung menyedot perhatian. Warga yang masih terpukul berhamburan keluar, mengikuti langkah hewan perkasa itu menuju tumpukan puing kayu setinggi 1,5 meter yang mengubur rumah dan jalan desa.

Keempat gajah Mido, Ajis, Abu, dan Noni adalah tim khusus yang dikerahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar. Mereka bukanlah pendatang baru di medan bencana.

“Gajah terlatih yang kita bawa ini sebanyak empat ekor, dan semuanya dari PLG Saree. Kala itu, banyak korban-korban yang ditemukan dan dievakuasi oleh gajah dari puing-puing pasca tsunami Aceh. Jadi bukan hanya seekor, tetapi keempat ekor gajah tersebut berpengalaman,” ujar Kepala KSDA Wilayah Sigli, Hadi Sofyan seperti dilansir Antara, Selasa, 9 Desember 2025.
 


Mereka adalah penyintas sejarah. Pengalaman penting mereka adalah membantu evakuasi korban tsunami Aceh 2004. Kini, pengalaman puluhan tahun itu diterapkan kembali untuk menyapu puing dan membuka akses di lokasi-lokasi yang tak terjangkau alat berat.

“Kita targetkan pembersihan di lokasi terdampak banjir bandang di Kecamatan Meureudu dan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya,” jelas Hadi. 

“Gajah-gajah ini membantu membersihkan material yang tersangkut di rumah-rumah penduduk, terutama untuk membuka akses jalan menuju rumah warga yang sudah tertimbun,” lanjutnya.

Tim ini direncanakan bertugas selama tujuh hari, hingga 14 Desember 2025, dengan kemampuan multifungsi. Membersihkan, membuka akses, bahkan mengantarkan logistik jika diperlukan.

Di balik tumpukan kayu yang perlahan diangkut oleh belalai Mido, tersimpan kisah pilu Alatif Rusli, 50. Matanya tak lepas mengikuti setiap gerakan gajah yang membersihkan halaman rumahnya yang hancur. Rumah itu, satu-satunya harta yang ia miliki, kini tertimbun lumpur dan kayu hingga setengah badan.

“Alhamdulillah, dengan adanya gajah ini sudah sangat membantu. Nanti untuk pembersihan lanjutan, semoga ada yang bantu lagi,” ucap Alatif, suaranya lirih penuh syukur sekaligus kelelahan.


Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) jinak yang ditunggangi mahout membersihkan puing kayu yang menutupi jalan dan permukiman warga akibat bencana alam di Desa Meunasah Bie, Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). (ANTARA/Rahmat Fajri)

Ia menceritakan malam mengerikan itu. Pada Selasa malam, 25 November 2025, air mulai menggenangi halaman. Mereka mengira hanya banjir biasa. Namun, menjelang pukul 03.00 WIB, air sungai di seberang meluap dahsyat, membawa gelombang kayu-kayu patahan yang menghantam rumahnya.

“Caranya kami selamat dengan memegang kayu-kayu banjir. Itu membawa kami ke jalan besar yang airnya tidak deras lagi,” kenangnya tentang penyelamatan dirinya, istri, dan mertuanya yang nyaris mustahil.

Kini, Alatif tinggal di tenda pengungsian hanya dengan sehelai pakaian yang melekat di badan. Semua harta benda hilang. Harapannya sederhana, setelah kayu bersih, ada bantuan untuk mengangkat tanah dan lumpur yang menutup rumahnya, atau bantuan untuk membangun kembali tempat tinggal.

“Selanjutnya kalau ada bantuan membersihkan tanah, kita sangat bersyukur. Kita mohon agar dibantu, atau membantu kami dibuatkan rumah baru, karena ini satu-satunya harta,” pintanya. 

Simbol Gotong Royong dan Harapan yang Berjalan

Di tengah keputusasaan, kehadiran keempat gajah itu lebih dari sekadar tenaga kerja. Mereka adalah simbol nyata bahwa bantuan datang dalam bentuk yang paling tak terduga. Mereka mewakili semangat gotong royong yang mengakar di Aceh, di mana segala sumber daya, bahkan dari alam, dikerahkan untuk membantu sesama.

Dengan kekuatan yang lembut namun pasti, setiap kayu yang diangkat oleh belalai Mido, Ajis, Abu, dan Noni bukan hanya membersihkan fisik desa, tetapi juga mengikis sedikit demi sedikit beban psikologis warga. Mereka menjadi penanda bahwa pemulihan sedang berjalan, bahwa mereka tidak sendirian.

Di tanah Aceh yang karib dengan duka, dari tsunami hingga banjir bandang, gajah-gajah ini telah menjadi bagian dari cerita ketangguhan. Mereka adalah penghubung antara kekuatan alam yang terkadang murka, dengan kekuatan alam lain yang dijinakkan untuk mengobati luka.

Sementara petugas BKSDA dan mahout memastikan tugas mereka berjalan lancar, sorot mata warga seperti Alatif yang menyaksikan kerja hewan-hewan perkasa itu adalah bukti. Di dalamnya, ada campuran rasa terima kasih, harapan, dan tekad untuk bangkit kembali. Langkah gajah-gajah itu meninggalkan jejak di lumpur, tetapi yang lebih penting, mereka menanamkan kembali benih harapan di hati masyarakat Pidie Jaya yang sedang berjuang.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Whisnu M)