Ilustrasi. Medcom
Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti beberapa substansi pasal yang bermasalah dalam draf revisi Undang-Undang (RUU) TNI. Pertama, terkait perpanjangan masa pensiun dan penambahan penumpukan perwira non job dan penempatan ilegal perwira aktif di jabatan sipil.
Dalam draf revisi Pasal 71 disebutkan perwira TNI usia pensiunnya akan diperpanjang menjadi paling lama 62 tahun. Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai poin ini justru akan menimbulkan masalah baru yang tak pernah diselesaikan.
“Revisi ini jika disahkan, justru akan menambah persoalan yang tidak pernah diselesaikan yakni penumpukan perwira non-job yang nanti dalam praktiknya justru dimobilisasi ke lembaga-lembaga negara hingga perusahaan-perusahaan milik negara,” ujar Isnur dalam keterangannya, Minggu, 16 Maret 2025.
Masyarakat sipil telah banyak melihat praktik tersebut yang justru akan menggerus profesionalitas dan kualitas kinerja lembaga negara maupun BUMN. Berdasarkan catatan Ombudsman pada 2020, terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan, 27 orang adalah anggota aktif TNI, dan 13 anggota aktif Polri.
Terbaru, Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk perwira aktif TNI, Mayjen Novi Helmy Prasetya, menjadi Direktur Utama Bulog setelah sebelumnya beberapa perwira aktif di PT PINDAD, PTDI, maupun PT PAL. Mereka menduduki jabatan tinggi di BUMN dengan melanggar ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kedua, pasal lain yang bermasalah, yaitu mengenai perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki perwira aktif TNI. Hal ini berpotensi dapat mengancam supremasi sipil, menggerus profesionalisme, dan independensi TNI.
Presiden Prabowo Subianto juga secara gamblang meminta TNI aktif dapat mengisi jabatan kementerian dan lembaga negara berupa Kementerian Koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Kementerian Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, Badan Sandi Negara, Lemhanas, DPN, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
“Semakin meluasnya peran TNI di luar tugas pokoknya dalam pertahanan negara, akan menghidupkan kembali peran sosial politik ABRI melalui dwifungsi yang merupakan ancaman bagi demokrasi dan profesionalisme TNI. Masuknya militer ke urusan di luar kewenangan, seperti penanganan narkotika, membuat TNI dapat terlibat dalam penegakan hukum yang bukan tupoksinya,” ujar dia.
Isnur menjelaskan penambahan peran anggota TNI yang dapat mengisi jabatan di wilayah sipil akan berisiko menghilangkan independensi dan profesionalisme anggota TNI yang mestinya fokus dalam urusan pertahanan negara.
“Mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer TNI terhadap kewenangan tersebut. Jika terlibat tindak pidana umum, pelanggaran HAM, termasuk korupsi yang dilakukan anggota TNI akan diserahkan yurisdiksi ke pengadilan militer, padahal semestinya harus diadili melalui pengadilan umum,” ungkap dia.
Selain itu, TNI akan rentan terjebak dalam lingkaran bisnis gelap sebagaimana yang sudah pernah terjadi di kepolisian. Isnur menekankan masuknya militer aktif pada Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga akan menghancurkan independensi sistem peradilan Indonesia dan membuat satuan TNI semakin kebal hukum.
Ketika, pasal yang dikritik ialah membuka ruang bagi TNI untuk ikut campur ke wilayah politik dan keamanan negara untuk dapat mengisi posisi Kementerian Koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara. Menurut dia, hal ini dapat memberi jalan luas militer untuk mengintervensi urusan politik dalam negeri serta menjadi ancaman bagi kebebasan sipil dan demokrasi dengan alasan keamanan negara.
“Ciri yang paling khas dari praktik dwifungsi ABRI di masa Orde Baru. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 5 TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI/Polri yang mengatur Tentara Nasional Indonesia semestinya bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis,” kata dia.
Selain itu, adanya pasal yang menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang pada Pasal 7, justru mengukuhkan kekebalan TNI dalam melakukan operasi militer non perang tanpa harus melalui mekanisme check and balances, oleh lembaga yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yakni DPR dalam pengambilan keputusan politik negara.
“Pengaturan tersebut sangat berbahaya karena menghilangkan peran DPR dan memberikan kekuasaan besar kepada presiden untuk memutuskan tanpa pertimbangan DPR,” tegas Isnur.
Isnur memaparkan tindakan yang dianggap sebagai operasi militer non perang terdiri dari aksi mengatasi gerakan separatis bersenjata, pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, dan mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis. Kemudian, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, serta mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya.
Selain itu, TNI akan diberi wewenang untuk memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintah di daerah, dan membantu Kepolisian dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang. Lalu, membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia.
Tak sampai di situ, TNI bisa membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue), serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
“Belajar dari Orde Baru, dan perjalanan militer pasca reformasi, operasi militer non-perang dengan dalih ‘mengatasi gerakan separatis bersenjata’ dan ‘mengatasi pemberontakan bersenjata’ di Aceh dan Papua telah menghasilkan pelanggaran HAM berat yang berlapis, mulai dari pengusiran paksa, kelaparan, hingga extrajudicial killing,” kata Isnur.
YLBHI mendesak DPR dan Presiden segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang tidak sejalan dengan
agenda reformasi TNI. Bahkan, revisi UU TNI justru akan melegitimasi bangkitnya praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru.
“DPR dan Presiden harus terbuka dan memastikan ruang partisipasi bermakna masyarakat dan memastikan revisi TNI dilakukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI dalam kerangka tegaknya supremasi sipil, konstitusi, demokrasi, dan perlindungan HAM,” ujar Isnur.