Ujian Komunikasi Kepresidenan dalam Penanganan Banjir Bali

Kennorton Hutasoit, Jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Istimewa

Ujian Komunikasi Kepresidenan dalam Penanganan Banjir Bali

15 September 2025 23:24

Oleh: Dr. Kennorton Hutasoit*


Presiden Prabowo Subianto mengunjungi korban banjir di Bali. Tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sekitar pukul 12.00 Wita, Sabtu (13/9/2025), Presiden disambut Gubernur Bali I Wayan Koster, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Kapolda Bali Irjen Daniel Adityajaya, lalu langsung menuju lokasi terdampak didampingi Seskab Teddy Indra Wijaya. Prabowo berjalan kaki menyusuri gang kecil yang masih penuh lumpur, berhenti di beberapa lokasi untuk menyapa dan berbincang dengan warga tentang kondisi keluarga dan rumah mereka saat banjir. Warga menceritakan bagaimana air sungai naik cepat hingga masuk ke rumah-rumah. 

Kehadiran Presiden disambut ramai oleh masyarakat, yang memanfaatkan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi secara langsung. Dalam peninjauan ini, Prabowo memastikan langkah darurat, termasuk distribusi bantuan, telah dijalankan dengan baik dan menegaskan komitmen pemerintah menyalurkan bantuan secara merata. Presiden Prabowo juga menaruh perhatian pada upaya jangka panjang untuk mengurangi risiko bencana serupa di masa depan, serta menekankan agar seluruh proses penanganan dilakukan cepat, tepat, dan menyeluruh melalui koordinasi lintas kementerian dengan mengutamakan keselamatan masyarakat.

Komunikasi Kepresidenan Pasca-Reformasi


Peristiwa banjir Bali menjadi cermin bagaimana gaya komunikasi presiden memengaruhi persepsi publik. Presiden Prabowo Subianto membawa gaya berbeda dengan pendahulu-pendahulunya. Gaya komunikasinya militeristik tapi empatik. Presiden Prabowo tampil sederhana, memberi arahan tegas, sekaligus menyapa korban dengan empati. Gaya ini memadukan ketegasan komando dengan human touch yang penting untuk memulihkan rasa aman, yang tidak terlepas dari latar belakang Prabowo sebagai militer. Berbeda dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dikenal dengan gaya formal dan birokratis.

Saat tsunami Aceh 2004, SBY menggelar pidato kenegaraan yang menenangkan dan membentuk BRR Aceh-Nias sebagai solusi jangka panjang. Walaupun Prabowo dan SBY sama-sama berlatar belakang militer, tapi gaya komunikasi keduanya berbeda. Sedangkan Presiden Joko Widodo memilih gaya egalitarian. Saat gempa Lombok dan Palu, ia blusukan ke tenda pengungsian, duduk bersama korban, mendengar keluhan, bahkan ikut makan bersama mereka. Gaya ini menciptakan kedekatan emosional dengan publik. Ketiga Presiden RI ini adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (pemilu) pasca Reformasi. 

Menurut Perloff (2021), komunikasi kepresidenan yang efektif harus memadukan credibility (membangun kepercayaan), empathy (menunjukkan kepedulian), dan responsiveness (bertindak cepat). Prabowo menampilkan ketiganya: hadir di lokasi, memberi perintah langsung, dan menjanjikan solusi jangka panjang.

Perbandingan gaya komunikasi presiden bukan sekadar analisis akademis. Cara presiden menyapa korban, memilih kata, dan hadir di lokasi memengaruhi rasa aman, kepercayaan, dan kepatuhan masyarakat. Komunikasi yang jelas dan empatik dapat mencegah hoaks, mengurangi polarisasi, dan mendorong solidaritas publik. Bagi publik, literasi ini penting agar dapat mengawasi janji pemulihan, mendorong transparansi kebijakan, dan memastikan respons negara tidak berhenti di level retorika. Momentum banjir Bali seharusnya menjadi titik balik untuk memperbaiki tata ruang, memperkuat sistem peringatan dini, dan menjadikan Bali model tata kelola bencana yang adil secara ekologis dan sosial.

Banjir besar yang melanda Bali pada dini hari 10 September 2025 menjadi alarm keras bahwa bencana bukan hanya soal curah hujan ekstrem, tetapi juga persoalan tata ruang, kebijakan publik, dan cara pemerintah berkomunikasi dengan warganya. Data BPBD Bali hingga 12 September mencatat 17 orang meninggal dunia (setelah koreksi dari laporan awal 18 orang), lima orang masih hilang, dan ratusan warga mengungsi di Denpasar, Jembrana, dan Badung. Lebih dari 500 bangunan rusak, termasuk Pasar Kumbasari dan kios-kios di Jalan Sulawesi, dengan kerugian material mendekati Rp 29 miliar. Infrastruktur porak-poranda: jembatan putus, tembok pembatas jebol, dan 160 titik banjir ditemukan di seluruh Bali. Ini bukan sekadar peristiwa cuaca ekstrem, melainkan tanda bahwa tata kelola ruang dan mitigasi bencana menghadapi ujian serius.

Penelitian terbaru oleh Laurence L. Delina dkk. (2025) tentang rural resilience menegaskan bahwa jejaring sosial berbasis komunitas — mulai dari keluarga inti, kelompok tani, hingga asosiasi lokal - memiliki peran penting dalam memperkuat daya lenting masyarakat menghadapi krisis. Studi ini menunjukkan bahwa hubungan afektif dan ritual budaya bukan sekadar pendukung, tetapi fondasi identitas dan strategi bertahan hidup komunitas agraris. Temuan ini relevan bagi Bali, di mana banjar, subak, dan desa adat dapat menjadi tumpuan pemulihan pasca-banjir, baik dalam mobilisasi gotong royong, saling berbagi sumber daya, maupun menjaga konektivitas sosial dan spiritual masyarakat. Mengintegrasikan kearifan lokal ini dengan kebijakan penanggulangan bencana akan memperkuat ketahanan sosial-ekologis dan memastikan pemulihan berjalan inklusif.

Pemerintah daerah dan pusat perlu menjadikan banjir Bali 2025 sebagai momentum koreksi tata ruang dan penegakan hukum di sempadan sungai, sekaligus memperkuat sistem peringatan dini yang benar-benar menjangkau warga. Desa adat, banjar, dan subak perlu dilibatkan secara aktif dalam perencanaan mitigasi dan rehabilitasi, karena merekalah garda terdepan yang memahami karakter wilayah.

Bencana ini tidak boleh hanya menjadi berita sesaat, melainkan harus menjadi titik balik untuk membangun tata kelola bencana yang partisipatif, transparan, dan berbasis kearifan lokal. Bali bukan hanya etalase pariwisata Indonesia, tetapi juga cermin kapasitas negara dalam melindungi warganya. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, banjir 2025 bisa menjadi pelajaran berharga untuk menjadikan Bali dan Indonesia lebih tangguh menghadapi krisis.


*Penulis adalah Jurnalis Metro TV – Doktor Ilmu Komunikasi

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Misbahol Munir)