Paramiliter RSF lakukan serangan di ke kota el-Fasher, Darfur barat. Foto: RSF
El-Fasher: Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) kembali melancarkan serangan besar-besaran ke kota el-Fasher, Darfur barat, Sudan, Jumat, 11 Juli 2025 waktu setempat, dalam pertempuran sengit selama tujuh jam yang menyebabkan jatuhnya sejumlah korban dan meluasnya kekacauan di kota yang telah dikepung selama lebih dari satu tahun.
Mengutip dari laporan BBC, Senin, 14 Juli 2025, RSF berhasil menguasai pasar ternak, penjara Shalla, serta markas Pasukan Cadangan Militer sebelum akhirnya dipukul mundur oleh militer Sudan pada Sabtu pagi.
El-Fasher merupakan satu-satunya kota besar di wilayah Darfur yang masih berada di bawah kendali militer Sudan. Sejak pecahnya perang saudara pada April 2023, kota ini menjadi benteng pertahanan terakhir pemerintah di wilayah barat yang dilanda kekacauan.
Seorang warga bernama Siddig Omar mengatakan bahwa RSF memasuki kota dari arah selatan dan barat daya. Serangan ke-220 ini dilakukan setelah beberapa pekan serangan artileri dan drone dari posisi parit-parit yang mereka gali di sekitar kota.
Video yang dirilis RSF menunjukkan mereka berjalan di area pasar ternak yang telah kosong selama berbulan-bulan akibat perang. Meski berhasil menembus beberapa fasilitas penting, militer Sudan mengklaim berhasil memukul mundur mereka dan menimbulkan "kerugian besar" di pihak RSF.
Namun, Omar mengungkap bahwa serangan drone RSF masih berlanjut pada Sabtu. "Salah satu peluru menghantam mobil sipil di dekat rumah saya dan menewaskan lima orang di dalamnya," ujarnya.
Krisis kemanusiaan terburuk di dunia
Menurut PBB, konflik Sudan telah menewaskan lebih dari 150.000 orang dan menyebabkan 12 juta orang mengungsi, terbesar di dunia saat ini. Kota el-Fasher sendiri kini dijuluki sebagai "perangkap maut" oleh Mathilde Vu dari Norwegian Refugee Council (NRC).
"Apa yang kami dengar adalah cerita-cerita horor. Serangan setiap minggu terhadap infrastruktur sipil," kata Vu kepada
BBC.
"Warga setempat mempertaruhkan nyawa hanya untuk bisa menyediakan sedikit makanan bagi orang-orang yang kelaparan,” ucap Vu.
Kondisi di lapangan disebut semakin parah setelah RSF merebut kamp pengungsi Zamzam pada April lalu. Kamp tersebut sebelumnya menjadi tempat perlindungan terbesar di Sudan. Banyak pengungsi yang kini mencari perlindungan ke kota Tawila, sekitar 60 km dari el-Fasher.
Tawila kini menampung hampir 379.000 pengungsi. Mereka menghadapi wabah kolera dan ancaman hujan lebat yang diperkirakan akan menghancurkan tempat tinggal darurat.
"Banyak orang berjalan kaki di malam hari, mengendarai keledai, berusaha melarikan diri dari kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan," ungkap Vu.
"Mereka tiba tanpa makanan atau air, kelelahan, dan trauma,” imbuh Vu.
Di el-Fasher, warga mengandalkan sisa limbah kacang tanah yang disebut "ombaz" sebagai makanan pokok. Namun, produksi pun terhenti karena pabrik-pabrik sudah tak lagi beroperasi.
"Bahkan ombaz kini sudah tak tersedia. Kami sangat kritis. Tidak ada makanan, tidak ada pekerjaan, dan tidak ada obat-obatan," kata salah satu warga kepada siaran darurat
BBC Arabic.
Awal tahun ini, Amerika Serikat menyatakan bahwa RSF dan milisi sekutunya telah melakukan genosida terhadap warga non-Arab di Darfur. Pekan lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyatakan memiliki cukup bukti untuk menyelidiki kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah tersebut.
Militer Sudan menuding Uni Emirat Arab (UEA) sebagai penyokong dana RSF, namun tudingan ini dibantah oleh UEA.
Vu menyesalkan minimnya keterlibatan komunitas internasional. "Pendanaan terus menurun, dan konsekuensinya terlihat jelas di lapangan. Warga hanya mengandalkan solidaritas satu sama lain untuk bertahan hidup,” pungkas Vu.
(Muhammad Reyhansyah)