Ilustrasi logo ASEAN. Foto: dok Huawei.
Fetry Wuryasti • 11 January 2024 18:19
Jakarta: Perekonomian dan pasar global mengalami beberapa guncangan pada 2023, namun secara umum tetap stabil.
DBS Macro Research memperkirakan untuk 2023 akan terjadi 'soft landing', pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi tidak akan menimbulkan resesi di AS dan Uni Eropa, konsolidasi di Tiongkok, serta pemulihan pertumbuhan di ASEAN.
"ASEAN sejak lama menarik arus masuk dana asing, tetapi terdapat dua faktor pendorong yang mempercepat arus tersebut sejak 2017, yakni dampak positif sejak dimulainya ketegangan AS-Tiongkok dan konfigurasi ulang rantai pasokan akibat pandemi," kata Senior Economist DBS Bank Radhika Rao di Jakarta, Kamis, 11 Januari 2024.
Meski ASEAN mungkin tidak dapat menyerap atau menggantikan semua kapasitas produksi yang dipindahkan dari Tiongkok, negara ASEAN-6 menawarkan keuntungan unik.
Singapura menjadi penerima manfaat utama dalam hal jumlah dana asing, diikuti Vietnam dan Indonesia. Komponen kendaraan listrik, rantai pasokan elektronik, dan teknologi ramah lingkungan adalah beberapa peluang utama yang muncul.
"Pertumbuhan akan kembali meningkat, didukung oleh siklus elektronik, yang sudah mencapai titik terendah, dan pulihnya pariwisata," kata Radhika.
Pada 2024 akan lebih baik bagi pertumbuhan ASEAN-6. DBS Macro Research memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil tahunan pulih menjadi 4,7 persen pada 2024, naik 50 bps setelah melambat pada 2023 ke 4,2 persen.
Pertumbuhan ini didorong oleh ekonomi yang berorientasi pada perdagangan. Ekspor dari ASEAN-6, terutama elektronik diperkirakan akan mengalami pemulihan pada 2024, setelah tahun penuh tantangan pada 2023.
Secara bersamaan, DBS Macro Research juga memperkirakan pemulihan perjalanan internasional dan pariwisata terus berlanjut pada 2024, tetapi lebih moderat.
Di sisi lain, inflasi di ASEAN-6 mengalami penurunan sepanjang 2023. DBS Macro Research melihat inflasi umum akan terkendali dan berada dalam target untuk negara yang menetapkan sasaran inflasi tertentu, tetapi dengan kecenderungan beragam pada 2024.
"Makanan dan bahan bakar, yang bersama-sama menyumbang setidak-tidaknya 50-60 persen ke keranjang inflasi harga konsumen (dengan makanan sebesar 20-40 persen), akan menjadi kunci bagi dinamika inflasi regional," kata Radhika.
Koreksi harga pangan dan energi global kemungkinan meredam tekanan inflasi, misalnya, di Indonesia, Filipina, dan Singapura, kecuali jika terjadi guncangan dari sisi penawaran tak terduga terhadap harga komoditas global.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi ASEAN-6 Membaik di 2024