Pakta Integritas yang digelar di Bakrie Tower, Jakarta. Istimewa
Al Abrar • 6 August 2025 21:21
Jakarta: Universitas Bakrie menegaskan komitmennya dalam menciptakan lingkungan kampus yang sehat, aman, dan bebas kekerasan melalui penandatanganan Pakta Integritas yang digelar di Auditorium Lantai 42 Bakrie Tower, Jakarta.
Kegiatan tersebut berlangsung pada Selasa (tanggal acara) dan diinisiasi oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Bakrie. Acara dihadiri jajaran pimpinan kampus, perwakilan mahasiswa, serta Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III.
Rektor Universitas Bakrie, Sofia W. Alisjahbana, menegaskan bahwa penandatanganan ini menjadi bukti keseriusan institusi dalam menciptakan lingkungan akademik yang aman dan terbebas dari segala bentuk kekerasan.
“Pakta integritas ini menjadi bentuk tanggung jawab kami untuk melindungi seluruh civitas akademika, memastikan hak-hak korban dilindungi, serta menegaskan bahwa kekerasan tidak memiliki tempat di Universitas Bakrie,” ujar Sofia.
Senada dengan itu, Kepala LLDIKTI Wilayah III, Henri Togar Hasiholan Tambunan, menyebut kekerasan di lingkungan perguruan tinggi sebagai fenomena serius yang harus ditangani bersama.
“Kanal-kanal pelaporan yang telah tersedia harus dimanfaatkan maksimal. Pakta integritas ini merupakan langkah awal memperkuat tanggung jawab bersama menciptakan kampus yang aman,” kata Henri.
Ketua Satgas PPKPT Universitas Bakrie, Ananda Fortunisa, menyampaikan Satgas berfokus pada perlindungan korban dan menjadi ruang aman bagi pelaporan kekerasan. Ia menekankan pentingnya edukasi, sosialisasi, serta pendampingan hukum dan psikologis bagi korban.
“Kami hadir tidak hanya untuk menindaklanjuti laporan, tetapi juga mendampingi korban secara penuh sesuai amanat Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024,” jelas Ananda.
Pada sesi sosialisasi, Ketua Satgas PPKPT Universitas Nasional, Ummu Salamah—selaku pendamping Satgas Universitas Bakrie—menyampaikan pentingnya perlindungan hukum bagi korban, termasuk hak atas restitusi dan kompensasi.
“Korban berhak atas keadilan dan perlindungan identitas. Perlindungan hukum ini harus dikedepankan untuk menciptakan rasa aman di lingkungan kampus,” ujarnya.
Psikolog dari Yayasan Pulih, Ika Amalia Kusumawardhani, menyoroti dampak psikologis kekerasan yang bisa berlangsung jangka panjang dan memengaruhi iklim akademik secara keseluruhan.
“Lingkungan kampus yang tidak sehat secara psikologis akan mengganggu proses belajar-mengajar,” katanya.
Sementara itu, Taufan Setyo Pranggono dari Tim Kerja Anti Dosa Pendidikan Tinggi LLDIKTI Wilayah III memperkenalkan pemanfaatan sistem pelaporan digital Crisis Response System (CRS) untuk memudahkan pelaporan kekerasan.
“Semua laporan akan ditindaklanjuti secara serius dan kerahasiaan pelapor dijamin,” ujar Taufan.
Acara ditutup dengan penandatanganan pakta oleh seluruh jajaran pimpinan universitas, dosen, kepala program studi, unit layanan, serta perwakilan mahasiswa dan unit kegiatan kampus. Penandatanganan ini menjadi tonggak baru dalam mewujudkan kampus yang inklusif, aman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.