Wamenlu Arif Havas Oegroseno dalam acara CIFP 2025 di Jakarta, Sabtu, 29 November 2025. (Metrotvnews.com)
Muhammad Reyhansyah • 29 November 2025 20:27
Jakarta: Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menegaskan bahwa Indonesia harus semakin teguh mempertahankan politik luar negeri bebas dan aktif di tengah perubahan geopolitik global yang semakin tidak menentu.
Hal ini ia sampaikan dalam Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025 di Jakarta, Sabtu, 29 November 2025
Havas menggambarkan bahwa dunia kini berada dalam “fase ketidakpastian total” yang jauh berbeda dari era Perang Dingin maupun periode globalisasi awal 2000-an.
Ia menjelaskanbahwa dinamika geopolitik masa kini tidak lagi dapat dipetakan dengan pendekatan lama. Pada masa Perang Dingin, persaingan antara blok Barat dan Uni Soviet berlangsung melalui perebutan ideologi dan sistem politik, namun ekonomi serta teknologi kedua pihak berdiri terpisah.
“Dulu ekonomi Barat dan Soviet tidak saling terhubung. Sekarang semuanya terkait dan saling memengaruhi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa era globalisasi yang meledak setelah runtuhnya Tembok Berlin telah menciptakan keterhubungan tanpa batas. Pergerakan manusia, modal, hingga teknologi mengalir lintas negara, dan masuknya Tiongkok ke WTO semakin mempercepat integrasi ekonomi dunia. Namun kondisi saat ini justru menunjukkan bahwa keterhubungan global tersebut kini berubah menjadi titik rawan baru.
“Sekarang kita melihat perdagangan dijadikan senjata. Teknologi dijadikan senjata. Investasi dan logistik bisa berubah menjadi instrumen tekanan politik,” kata Havas.
Ia menyebut bahwa krisis global bukan lagi berdiri sendiri, tetapi saling tumpang tindih: pandemi, perang, disrupsi teknologi, hingga persaingan kekuatan besar semuanya terjalin dalam satu lanskap geopolitik yang kompleks.
Havas mencontohkan bagaimana keputusan politik di satu kawasan langsung memukul ekonomi negara lain, termasuk Indonesia. Keputusan Iran menutup pelabuhan, misalnya, menyebabkan lonjakan biaya asuransi dan sewa kapal, yang pada akhirnya meningkatkan biaya logistik global.
“Ketika Ukraina diserang, kita baru sadar bahwa lebih dari 50 persen gandum kita berasal dari sana, dan banyak fosfat untuk pupuk kita dari Rusia. Kita dipaksa melakukan diversifikasi,” ujarnya.
Ia juga menyinggung perebutan rantai pasok semikonduktor dan mineral kritis yang kini menjadi isu geopolitik global. Dalam konteks ini, Indonesia dinilai memiliki posisi relatif kuat karena mampu melakukan hilirisasi di dalam negeri, berbeda dengan banyak negara Afrika yang hanya menjadi lokasi ekstraksi tanpa nilai tambah.
Menurut Havas, lanskap geopolitik masa kini telah berubah menjadi apa yang ia sebut sebagai “weaponization of everything," di mana hampir setiap sektor dapat dijadikan alat persaingan antarnegara. Dengan dunia yang “tidak jelas arahnya” dan sulit dinavigasi, Indonesia harus konsisten mempertahankan prinsip dasar politik luar negeri bebas aktif yang diwariskan sejak 1945.
“Dalam situasi yang sangat tidak pasti seperti ini, posisi dasar kita adalah tetap independen yaitu mampu menentukan kebijakan sendiri dan tetap aktif. Kita bukan penonton, bukan bystander. Itu fondasi diplomasi Indonesia sejak awal,” tegasnya.
Havas menegaskan bahwa inti dari kebijakan luar negeri Indonesia tetap bertumpu pada kepentingan nasional, meski bentuknya dapat berbeda dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Namun arah dasarnya tetap satu: memastikan Indonesia punya ruang manuver cukup untuk bertahan dan maju di tengah dunia yang makin tidak stabil.
“Politik luar negeri bebas aktif bukan slogan. Itu instrumen navigasi agar Indonesia tidak terseret arus, tetapi mampu berdiri sebagai negara yang mandiri dan berperan,” pungkas Havas. (Kelvin Yurcel)
Baca juga: Wamenlu Havas Tegaskan Polugri Bebas Aktif Tetap Jadi Fondasi Diplomasi RI