Apa Itu Gig Economy? Tren Kerja Fleksibel di Era Digital

Ilustrasi. Metrotvnews.com/Khairunnisa Puteri M.

Apa Itu Gig Economy? Tren Kerja Fleksibel di Era Digital

Eko Nordiansyah • 29 December 2025 14:20

Jakarta: Di era digital, cakupan tenaga kerja kini tidak hanya terbatas di korporasi atau perusahaan, melainkan dapat bekerja di mana pun dengan sistem kerja yang fleksibel. Di Indonesia, tren ini bukan lagi sekadar gaya hidup urban, melainkan turut meningkatkan perekonomian nasional.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, sekitar 59,40 persen atau 86,6 juta pekerja di Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor informal, termasuk di dalamnya para pelaku gig economy. Lonjakan ini semakin dipertegas oleh laporan Bank Dunia yang menyoroti pergeseran tenaga kerja dari sektor manufaktur ke digital.

Pada 2025, kontribusi ekonomi kreatif bahkan telah menembus angka Rp1.611,2 triliun atau menyumbang 7,28 persen dari PDB Nasional. Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, berikut penjelasan ‘gig economy’ yang dirangkum dari berbagai sumber.

Apa itu Gig Economy?

Secara sederhana, gig economy adalah pasar tenaga kerja yang identik dengan kontrak jangka pendek atau pekerjaan lepas. Istilah ‘gig’ sendiri dipinjam dari dunia musik, yakni musisi berpindah dari satu panggung ke panggung lainnya.

Dalam sudut pandang lain, gig economy dapat didefinisikan sebagai lingkungan kerja fleksibel dalam hal jam kerja, namun minim perlindungan kerja sehingga berpotensi menimbulkan eksploitasi.

Karakteristik Gig Economy

Untuk membedakannya dengan ekonomi tradisional, berikut ciri khas gig economy:

1. Berbasis platform

Sebagian besar pekerja gig terhubung melalui aplikasi atau situs web untuk memudahkan pekerjaan mereka. Beberapa pekerjaan yang dimaksud seperti Gojek, Grab, Shopee dan lain sebagainya. Melalui situs web, pekerja gig dapat bekerja secara fleksibel sehingga tidak harus datang ke kantor.

2. Fleksibilitas kerja

Pekerja gig tidak terhubung dengan jam kerja tetap. Mereka memiliki kendali penuh atas kapan, di mana dan berapa lama mereka harus bekerja. Dengan waktu kerja yang fleksibel, pekerja gig dapat menyesuaikan waktu kerja sehingga tidak harus sembilan jam per hari.

3. Status independen

Berbeda dengan karyawan konvensional, pekerja gig bukan berstatus karyawan tetap. Mereka bekerja secara independen, mitra atau penyedia jasa pihak ketiga. Status ini menimbulkan kerentanan, sebab mereka tidak mendapatkan jaminan kecelakaan kerja sehingga harus mengurusnya secara mandiri.
 



(Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com)

Tantangan Gig Economy

1. Ketidakpastian pendapatan

Berbeda dengan karyawan tetap yang mendapatkan gaji setiap bulan, pekerja gig hidup dalam siklus kerja yang tidak menentu. Pekerja gig economy, sangat rentan tidak mendapatkan kepastian pendapatan, sebab upah sangat bergantung pada ketersediaan proyek.

2. Kurangnya perlindungan sosial

Dalam sistem kerja tradisional, perusahaan biasanya menanggung perlindungan kerja karyawan. Pada gig economy, pekerja harus menyisihkan pendapatan ekstra untuk membayar premi asuransi kesehatan, jaminan kecelakaan kerja hingga dana pensiun secara mandiri.

3. Risiko burnout

Fleksibilitas seringkali menjadi pedang bermata dua. Jam kerja yang panjang hingga melebihi 40 jam per minggu dapat memicu kelelahan fisik bahkan dapat memicu terjadinya burnout yang berakibat penurunan kualitas kerja.

Daftar Pekerjaan Gig Economy

Berikut beberapa pekerjaan yang termasuk ke dalam gig economy:

  • Software Development: UI/UX designer, game engineer, dan DevOps engineer.
  • Penulis: Content writer, copywriter, UX copywriter dan resume writer.
  • Kreatif dan Desain: Desainer grafis, editor video, motion graphic designer dan 3D artist.
  • Transportasi dan Logistik: Driver ojek online, kurir paket, penyedia jasa bongkar muat.
  • IT: Information security engineer, network analyst, analis data. (Surya Mahmuda)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Eko Nordiansyah)