Isu Taiwan Picu Ketegangan Jepang-Tiongkok, Dua Kekuatan Utama di Asia Timur

PM Jepang Sanae Takaichi. (Anadolu Agency)

Isu Taiwan Picu Ketegangan Jepang-Tiongkok, Dua Kekuatan Utama di Asia Timur

Muhammad Reyhansyah • 23 December 2025 15:45

Jakarta: Ketegangan antara Jepang dan Tiongkok sepanjang 2025 menandai salah satu fase paling kompleks dalam hubungan dua kekuatan utama Asia Timur dalam satu dekade terakhir. Dinamika yang berkembang tidak lagi terbatas pada perbedaan diplomatik bilateral, melainkan menjalar ke ranah keamanan, ekonomi, budaya, hingga tatanan geopolitik regional yang lebih luas.

Isu Taiwan menjadi titik nyala utama eskalasi tersebut. Pada 7 November 2025, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyatakan di parlemen bahwa penggunaan kekuatan militer terhadap Taiwan berpotensi menciptakan situasi yang “mengancam kelangsungan hidup” Jepang. 

Pernyataan itu segera menarik perhatian internasional karena mencerminkan meningkatnya kekhawatiran strategis Tokyo terhadap stabilitas kawasan.

Pernyataan Takaichi sejatinya tidak disertai komitmen eksplisit bahwa Jepang akan menggunakan kekuatan militer untuk membela Taiwan. Namun, bagi Beijing, konteks dan forum penyampaiannya bagi seorang perdana menteri aktif dalam sidang resmi parlemen dianggap sebagai sinyal berbahaya yang melampaui ambiguitas strategis Jepang selama ini.

Tiongkok menilai pernyataan tersebut dapat ditafsirkan sebagai pembenaran keterlibatan Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) dalam skema pertahanan kolektif jika konflik Taiwan pecah. Isu ini selama bertahun-tahun menjadi salah satu garis merah paling sensitif dalam hubungan Tokyo–Beijing, mengingat sejarah militerisme Jepang dan perubahan interpretasi konstitusi pascaperang.

Reaksi Beijing pun berlangsung cepat dan keras. Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menyebut pernyataan Takaichi sebagai “mengejutkan” dan menuduh Jepang telah “melewati garis merah.” Sejak saat itu, Beijing meningkatkan tekanan diplomatik melalui pernyataan resmi dan kampanye global yang menegaskan penolakannya terhadap segala bentuk campur tangan asing dalam isu Taiwan.

Militer dan Tekanan Diplomatik

Ketegangan kemudian merembet ke Laut China Timur. Aktivitas kapal penjaga pantai Tiongkok yang berulang kali memasuki perairan sekitar Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang namun diklaim Beijing sebagai Diaoyu memperkeruh situasi. 

Tokyo menyebut manuver tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional, sementara Beijing bersikeras bahwa patroli itu merupakan bagian dari penegakan “hak dan kepentingan” nasionalnya.

Dimensi militer semakin tajam ketika terungkap insiden jet tempur Tiongkok yang mengunci radar pesawat Jepang di dekat Okinawa. Tokyo melayangkan protes keras dan menilai insiden tersebut sebagai eskalasi serius yang meningkatkan risiko salah perhitungan di lapangan, sekaligus memperlihatkan betapa rapuhnya stabilitas keamanan kawasan.

Narasi Militerisme Jepang Kembali

Di tengah eskalasi itu, perang narasi mengenai keamanan kawasan ikut menguat. Pemerintah Tiongkok menyerukan kepada seluruh negara yang “mencintai perdamaian” untuk secara tegas menggagalkan setiap langkah yang berpotensi “menghidupkan kembali militerisme Jepang.” 

Seruan ini disampaikan menyusul laporan pernyataan Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi yang menyebut anggaran militer Tiongkok meningkat hingga tujuh kali lipat dalam dua dekade terakhir.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun, menilai pernyataan tersebut sebagai tuduhan yang tidak berdasar dan keliru terhadap pembangunan pertahanan Beijing. 

Ia menegaskan bahwa Jepang, dengan “rekam jejak agresi yang buruk,” tidak berada pada posisi yang tepat untuk mengkritik kebijakan pertahanan negara lain, terlebih ketika Tokyo sendiri terus meningkatkan anggaran militernya dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Guo, upaya Jepang mempercepat remiliterisasi justru kembali memunculkan pertanyaan tentang arah kebijakan keamanan Tokyo. Bagi Beijing, isu ini bukan sekadar persoalan anggaran, melainkan menyentuh trauma historis dan legitimasi moral Jepang di mata kawasan.

Konsekuensi Ekonomi dan Budaya

Di luar ranah keamanan, dampak ketegangan mulai terasa di sektor ekonomi. Pada Senin, 17 November 2025, saham perusahaan pariwisata dan ritel Jepang merosot tajam setelah Tiongkok mengeluarkan imbauan bagi warganya untuk tidak bepergian ke Jepang. Pasar merespons cepat sinyal politik Beijing yang dipandang sebagai tekanan ekonomi terselubung terhadap Tokyo.

Saham Shiseido anjlok hingga 11,4 persen, Takashimaya turun 6 persen, sementara Pan Pacific International Holdings yang merupakan pengelola jaringan Don Quijote jatuh 8,4 persen. Fast Retailing, pemilik Uniqlo yang memiliki eksposur besar di pasar Tiongkok, melemah hampir 6 persen. 

Isetan Mitsukoshi mencatat penurunan terdalam dalam lebih dari satu tahun, sementara operator Tokyo Disneyland, Oriental Land, dan Japan Airlines juga ikut terkoreksi. Indeks Nikkei turun 0,7 persen.

Tekanan pasar ini mencerminkan ketergantungan struktural Jepang terhadap wisatawan Tiongkok. Dengan nilai yen yang melemah, sektor pariwisata menjadi salah satu pilar pemulihan ekonomi Jepang. 

Data Organisasi Pariwisata Nasional Jepang mencatat bahwa pada September 2025, wisatawan dari Tiongkok daratan menyumbang sekitar 24 persen dari total kedatangan internasional, tertinggi kedua setelah Korea Selatan.

Ketegangan juga menjalar ke ranah budaya dan hiburan. Pemerintah Tiongkok menangguhkan penayangan setidaknya dua film Jepang, yakni Crayon Shin-chan The Movie: Super Hot! Scorching Kasukabe Dancers dan adaptasi manga Cells at Work! kurang dari dua minggu setelah pernyataan Takaichi. 

Media pemerintah Tiongkok CCTV menyebut langkah tersebut sebagai keputusan yang mempertimbangkan sentimen publik Tiongkok yang semakin negatif terhadap Jepang.

Dampaknya meluas ke industri hiburan yang lebih besar. Film anime Demon Slayer: Infinity Castle, yang sebelumnya mencatat antusiasme tinggi di pasar Tiongkok, dilaporkan mengalami penurunan penjualan tiket. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana ketegangan politik dapat dengan cepat memengaruhi hubungan antarmasyarakat dan jalur soft power yang selama ini relatif stabil.

Upaya Redam Eskalasi Global

Di tengah eskalasi tersebut, Amerika Serikat (AS) ikut memainkan peran penyeimbang. Pada 26 November 2025, Presiden AS Donald Trump menghubungi Perdana Menteri Takaichi dan menyarankan agar Jepang tidak memprovokasi Beijing terkait isu Taiwan. 

Percakapan ini terjadi setelah Presiden Tiongkok Xi Jinping lebih dulu berbicara dengan Trump mengenai klaim historis Beijing atas Taiwan dan pentingnya mengelola stabilitas global.

Menjelang akhir tahun, Takaichi berupaya meredam eskalasi dengan menegaskan bahwa Jepang tetap “terbuka” untuk berdialog dengan Tiongkok. 

Dalam konferensi pers pada 18 Desember 2025, ia menyebut Tiongkok sebagai “tetangga penting” dan menegaskan bahwa sikap Jepang untuk membangun hubungan yang konstruktif dan stabil tidak berubah sejak pemerintahan sebelumnya, sembari menekankan bahwa posisi Tokyo akan terus disampaikan melalui jalur diplomatik.

Rangkaian peristiwa sepanjang 2025 ini menunjukkan bahwa ketegangan Jepang–Tiongkok tidak lagi bersifat satu dimensi. Isu Taiwan menjadi benang merah yang menghubungkan retorika politik, manuver militer, tekanan ekonomi, sensor budaya, hingga keterlibatan kekuatan global. 

Dengan banyaknya front yang terlibat, hubungan kedua negara diperkirakan akan tetap menjadi salah satu faktor kunci yang membentuk lanskap keamanan dan stabilitas Asia Pasifik dalam waktu dekat.

Baca juga:  Tiongkok Tegaskan Tak Akan Biarkan Militerisme Jepang Bangkit Kembali

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)