Gerak Cepat Hadapi Perang Tarif AS

Ilustrasi bendera AS. Foto: dok US Embassy.

Gerak Cepat Hadapi Perang Tarif AS

Insi Nantika Jelita • 10 February 2025 09:01

Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong pemerintah segera membuat kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan kinerja ekspor.

Kebijakan pemerintah yang bersifat intervensi saat ini dibutuhkan untuk merespons perang tarif yang mulai diberlakukan AS.

Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani menyebutkan penaikan tarif impor terhadap Kanada, Meksiko, dan Tiongkok yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump mulai 1 Februari 2025 membuat hubungan perdagangan global terganggu. Dampaknya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan semakin tertekan, kinerja ekspor pun berpotensi melambat.

"Ini semua bergantung pada kebijakan pemerintah, bagaimana merespons dampak ekonomi negatif yang terjadi akibat kebijakan Trump. Apakah bisa diatasi atau dikendalikan agar tidak terlalu membebani pertumbuhan ekonomi nasional?" ujar Shinta, dilansir Media Indonesia, Senin, 10 Februari 2025.

Sabtu, 1 Februari 2025, Trump resmi menetapkan tarif 25 persen untuk barang impor dari Kanada dan Meksiko, serta 10 persen untuk produk asal Tiongkok. Ia juga memperingatkan, jika ada tindakan balasan dari negara-negara yang terkena oleh tarif, AS akan memperluas cakupan kebijakan tersebut.



Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani. Foto: Metrotvnews.com.

 

Baca juga: Memitigasi Trump Effect
 

Kebijakan tarif tingi impor AS bisa memperlambat kinerja ekspor Indonesia


Kebijakan tarif tinggi impor oleh AS itu, sebut Shinta, bakal memperlambat kinerja ekspor Indonesia. Pasalnya, Tiongkok menjadi salah satu mitra dagang utama Indonesia selama ini.

"Kinerja ekspor akan terganggu dan diperkirakan akan semakin memperparah posisi current account atau neraca transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar rupiah," ucap dia.

Dengan rupiah semakin melemah dan neraca dagang yang terganggu, lanjutnya, inflasi dalam negeri diperkirakan bakal terkerek lebih tinggi. Terlebih, saat ini Indonesia dihadapkan pada cuaca ekstrem yang berpotensi mengganggu produksi pertanian dan membuat harga-harga pangan melonjak.

Saat dihubungi pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan pemerintah perlu cepat mencari alternatif negara tujuan ekspor baru untuk membuka peluang pasar.

Pasalnya, jika ekonomi Tiongkok terganggu, kinerja perdagangan Indonesia dengan 'Negeri Tirai Bambu' juga ikut terdampak.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai perdagangan Indonesia-Tiongkok naik 5,7 persen pada 2024. Total perdagangan ekspor ke Tiongkok mencapai USD62,4 miliar. Komoditas ekspor utama di antaranya besi dan baja serta bahan mineral berupa batu bara dan nikel.

"Indonesia harus memikirkan alternatif destinasi pasar ekspor yang baru. Ini supaya Indonesia tidak terlalu bergantung pada Tiongkok, atau negara lain yang terdampak oleh kebijakan tarif AS itu," imbuh dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Ade Hapsari Lestarini)