Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Medcom.id

Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa

Achmad Zulfikar Fazli • 5 March 2025 20:48

Jakarta: Patriotisme perempuan harus dibangkitkan agar mampu mendorong semangat bersama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam mengisi kemerdekaan. Hal ini disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema Peringatan Hari Perempuan Internasional 2025-Patriotisme Perempuan: Dulu, Kini, dan Nanti, yang diselenggarakan MPR RI bersama Forum Diskusi Denpasar 12 dan Keluarga Besar Wirawati Catur Panca.

"Berbagai kisah perjuangan perempuan mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa kita sejak dulu. Perjuangan perempuan adalah perjuangan yang berkelanjutan," kata Lestari Moerdijat di Ruang Delegasi, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025.

Rerie, sapaan akrabnya, menegaskan perempuan di Nusantara sejak dahulu adalah perempuan yang tangguh. Di Aceh, pada masa lalu dipimpin para sultana dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya.

Dia mengungkapkan pada abad ke-16, ada pejuang perempuan bernama Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menerapkan konsep poros maritim di Nusantara untuk menggalang aliansi dalam melawan Portugis.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan dapat membangkitkan semangat kaum perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum selesai dalam proses pembangunan.

Pada sambutan tertulisnya, Ketua Umum Wirawati Catur Panca, Pia Feriasti Megananda, mengungkapkan acara diskusi tentang patriotisme perempuan merupakan simbol perjuangan bangsa yang melibatkan perempuan. Menurut Pia, peran perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa terus berkelanjutan sejak masa lalu, masa kini, hingga masa datang.

Di masa lalu, kata dia, pejuang perempuan memiliki patriotisme yang tinggi. Selain memperjuangkan kemerdekaan, pejuang perempuan memperjuangkan hak-hak mereka.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengungkapkan keterlibatan aktif perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan di sejumlah bidang sudah terjadi sejak dahulu. Namun, kata dia, di era saat ini, pada sejumlah kasus, perempuan tidak dipandang sama dengan laki-laki. 

Ninik mengakui dalam konteks penerapan kesetaraan gender saat ini ada kemajuan. Namun, di beberapa sektor terjadi stagnasi, bahkan kemunduran. 

Penerapan aturan yang berbeda berdasarkan suku, ras, dan agama, kata Ninik, menyebabkan stagnasi penerapan kesetaraan gender di sejumlah sektor. 

Dia menjelaskan sejumlah regulasi mendorong terjadinya diskriminasi yang memicu tindak kekerasan dan sejumlah hal yang merugikan perempuan. Oleh karena itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan dalam hal penerapan kesetaraan gender di Tanah Air.
 

Baca Juga: 

Lestari Moerdijat Dorong Pemberdayaan Perempuan Antisipasi Gejolak Ekonomi


Social Entrepreneur, Nicky Clara, mengaku terlahir sebagai perempuan disabilitas yang menghadapi tantangan berlapis-lapis. Dia menilai stigma terkait perempuan dan disabilitas sangat kuat. Bahkan di sejumlah daerah, perempuan disabilitas sampai dikurung. 

Menurut Nicky, bila tidak mengikutsertakan perempuan dalam pengembangan ekonomi, negara akan kehilangan. Tetapi, faktanya hanya kurang dari 30 persen perempuan yang melek keuangan. 

Oleh karena itu, upaya pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi merupakan langkah yang penting. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Irine Hiraswari Gayatri, berpendapat gerakan perempuan berkembang sesuai zamannya, tetapi ada yang konsisten dalam setiap perjuangan, yaitu militansi. 

Irine mengakui keberhasilan gerakan perempuan seringkali bergantung pada faktor lokal dan global. Selain itu, tambah dia, ada tantangan dalam konteks kondisi sosial dan ekonomi. 

Menurut dia, sejumlah langkah afirmasi di bidang politik sejatinya upaya untuk mengakselerasi keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, upaya itu tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan. 

Wartawan senior, Saur Hutabarat, mengatakan saat ini di Kabinet Merah Putih terdapat lima menteri perempuan dan sembilan wakil menteri perempuan. Kondisi itu sesuatu yang belum pernah terjadi. Bila itu berhasil, di masa depan Indonesia akan punya sembilan menteri perempuan.

Bahkan, kata Saur, ada bidang-bidang yang tidak pernah dijabat perempuan, sekarang dijabat perempuan, seperti Wakil Menteri  Pekerjaan Umum, Wakil Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi.

"Bila angle itu yang dipakai saya tidak melihat ada regresi," ujar Saur. 
 
Baca Juga: 

Surya Paloh Tegaskan Peran Perempuan Menentukan Masa Depan Bangsa


Saur khawatir label yang dibuat terhadap perempuan dan laki-laki memperkuat diskriminasi. Sebagai contoh, kata bangsawan tidak ada bangsawati, negarawan tapi tidak ada negarawati, rupawan tapi tidak ada rupawati. 

"Mengapa sampai ada kata taruna dan taruni? Taruna itu berasal bahasa Pali rumpun Indo Arya yang artinya muda," ujar dia.

Saur mengatakan penciptaan bahasa itu justru menyebabkan penguatan diskriminasi. Menurut Saur, kondisi tersebut harus dikoreksi melalui alam pikiran dalam berbahasa.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)