Haus Kekuasaan

Haus Kekuasaan

Media Indonesia • 27 August 2024 05:53

DENGAN gayanya yang khas, lugas, tegas, dan tidak berputar-putar, presiden terpilih Prabowo Subianto menyebutkan adanya pihak-pihak yang haus kekuasaan. Publik menerka-nerka siapa 'mereka' itu. 

"Mereka-mereka yang terlalu haus dengan kekuasaan dan kadang-kadang kekuasaan itu hendak dibeli, hendak diatur oleh kekuatan-kekuatan lain, kekuatan-kekuatan di luar kepentingan rakyat. Nah, ini yang bisa mengganggu dan bahkan merugikan suatu bangsa," kata Prabowo dalam pidatonya pada penutupan Kongres ke-6 Partai Amanat Nasional (PAN) di Jakarta pada Sabtu (24/8). 

Pernyataan mantan Danjen Kopassus di tengah isu revisi Undang-Undang Pilkada memantik perhatian publik. Pasalnya, revisi UU Pilkada diduga sebuah persekongkolan jahat untuk menolak dua putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama, putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang berisi perubahan tentang ambang batas (threshold) pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mengajukan pasangan calon. 

Kedua, putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa syarat batas usia calon kepala daerah harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan saat pelantikan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024.
 

Baca juga: Berbagai Peran Surya Paloh Bakal Diperhitungkan Prabowo


Sebelumnya, pencalonan kepala daerah di Jakarta dikuasai oleh Koalisi Indonesia Maju plus yang beranggotakan sembilan partai politik anggota KIM dan beberapa parpol di luar koalisi tersebut. 

Anggota KIM asli ialah partai-partai yang sebelumnya mendukung presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pada Pillpres 2024. 

KIM plus mengusung Ridwan Kamil-Suswono sebagai bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024.  

Koalisi gajah ini berhasil menyingkirkan PDI Perjuangan dan Anies Baswedan dalam konstestasi di daerah yang akan menjadi kota bisnis internasional itu.

Sebelum terbitnya putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, sejumlah partai mengakalinya dengan putusan MA untuk menyokong putra bungsu Presiden Jokowi yang belum berusia 30 tahun, Kaesang Pangarep, saat pendaftaran calon. 

Rakyat yang dimotori ribuan mahasiswa mengepung Gedung DPR RI dan DPRD di sejumlah daerah. DPR akhirnya menyerah. Baik DPR, pemerintah, KPU, Bawaslu, maupun DKPP, mereka menyepakati bahwa basis regulasi pilkada berdasarkan dua putusan MK. 

Kegaduhan demi kegaduhan terjadi di Republik ini dalam Pemilu 2024 sejak pilpres hingga pilkada. Menjelang pilpres, MK mengeluarkan putusan simsalabim dengan nomor 90 yang membuat putra sulung Presiden Jokowi yang berusia di bawah 40 tahun, Gibran Rakabuming Raka, bisa mendaftar sebagai calon wakil presiden. 
 
Baca juga: Isu Keretakan Jokowi-Prabowo Disebut Upaya Menganggu Agenda Keberlanjutan


Kegaduhan terjadi lagi menjelang pilkada. Jika menjelang pilpres MK dilumpuhkan, kini menyambut pilkada MA pun bernasib sama. Tak hanya dua lembaga yudikatif, lembaga legislatif pun ditaklukkan untuk merevisi UU Pilkada yang bertujuan membangun kartel politik sebagai upaya menyingkirkan kekuatan politik yang berseberangan.

Sebenarnya kegaduhan juga terjadi sebelum pilpres, yakni upaya memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi hingga tiga periode. Namun, rakyat menolak akal busuk tersebut. 

Berbagai kegaduhan di atas ialah ironisme perjalanan kemerdekaan ke-79 bangsa Indonesia. Tema Nusantara baru Indonesia maju benar-benar hanya slogan kosong. Peringatan HUT Kemerdekaan RI di Ibu Kota Nusantara (IKN) sekadar gebyar nihil makna. Sejatinya, di usia ke 79, demokrasi semakin maju, mekar, dan berseri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Kekuasaan ialah candu yang memabukkan. Semua akal bulus dan akal busuk dikerahkan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Celakanya, apabila penguasa berprinsip 'negara ialah aku' seperti Louis XIV, trias politika (legislatif, yudikatif, dan eksekutif)  akan dikuasai secara mutlak. 

Ketiga cabang kekuasaan itu tak berfungsi sebagai check and balance. Partisipasi politik rakyat hanya bersifat prosedural. Politik elektoral dibangun dengan sihir pencitraan, politik gentong babi (pork barrel poltics), mobilisasi, dan intimidasi. Alhasil, penguasa membangun legalisme autokratik.

Demokrasi seolah-olah, menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, membuat demokrasi mati (2018). Praktik politik  yang buruk di tingkat pusat akan menular ke daerah. Politik mengalami perburukan karena tidak dilandasi etika dan kepatuhan pada hukum. 

Kekuasaan digenggam bukan mewariskan kebaikan bersama (common good), melainkan untuk keluarga dan komplotannya. Rakyat tidak mendapatkan apa-apa, bahkan menjadi korban. Selamatkan demokrasi, robohkan setan yang berdiri mengangkang. Tabik!

Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Eko Nordiansyah)