Lebanon Peringatkan Risiko 'Perang Baru' di Tengah Serangan Israel

Serangan Israel di Lebanon. (EPA-EFE/WAEL HAMZEH)

Lebanon Peringatkan Risiko 'Perang Baru' di Tengah Serangan Israel

Riza Aslam Khaeron • 23 March 2025 14:13

Beirut: Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas setelah Israel melancarkan serangkaian serangan udara ke Lebanon pada Sabtu, 22 Maret 2025, yang menyebabkan tujuh orang tewas. Perdana Menteri Lebanon, Nawaf Salam, memperingatkan bahwa negaranya berada di ambang “perang baru” akibat eskalasi ini.

Melansir Al Jazeera pada Sabtu, 22 Maret 2025, Kementerian Pertahanan Israel mengonfirmasi bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz telah memerintahkan "gelombang kedua serangan terhadap puluhan target Hezbollah di Lebanon". Serangan ini disebut sebagai eskalasi terbesar sejak gencatan senjata pada 27 November 2024.

Menurut laporan dari Kantor Berita Nasional Lebanon (NNA), lima orang, termasuk dua anak-anak, tewas dalam serangan Israel di kota Touline di Lebanon selatan. Di kota pesisir Tyre, sebuah serangan udara Israel menewaskan sedikitnya satu orang, sementara serangan lain di Qlaileh, tenggara Tyre, menyebabkan empat orang terluka.

Israel juga meluncurkan serangan ke Zibqin, yang terletak di tenggara Tyre.

Perdana Menteri Lebanon Nawaf Salam mengecam tindakan militer Israel, menyebut operasi militer ini sebagai "pelanggaran serius terhadap kedaulatan Lebanon".

Salam menegaskan, "Seluruh langkah keamanan dan militer harus diambil untuk menunjukkan bahwa Lebanon berhak menentukan nasibnya dalam urusan perang dan perdamaian."

Sementara itu, kelompok Hezbollah membantah tuduhan keterlibatan mereka dalam peluncuran serangan roket ke wilayah Israel dari Lebanon selatan.

"Israel menciptakan alasan untuk memperbarui serangan udaranya," kata Hezbollah dalam pernyataannya, seraya menegaskan komitmennya terhadap gencatan senjata yang ditandatangani pada November 2024.

Pernyataan Hezbollah ini mencerminkan tekanan politik dan militer yang sedang dihadapi kelompok tersebut, baik dari dalam maupun luar negeri.

Menteri Pertahanan Lebanon, Michel Menassa, menyatakan bahwa militer Lebanon telah memulai penyelidikan terkait insiden ini.

Menassa juga menyerukan kepada negara-negara penjamin gencatan senjata untuk "menahan musuh Israel dari pelanggaran dan serangan yang terus berlanjut dengan dalih yang tidak berdasar."
 

Baca Juga:
Serangan Israel Tewaskan Pemimpin Politik Hamas di Gaza Selatan

Serangan pada Sabtu tersebut merupakan pertama kalinya Israel melancarkan serangan udara sejak memutuskan untuk mengakhiri gencatan senjata terpisah dengan Hamas di Gaza pada Selasa, 18 Maret 2025.

Pemerintah Lebanon menyalahkan Israel atas ketegangan yang berlarut-larut ini, dengan menyebut kegagalan Israel untuk menarik pasukannya dari wilayah Lebanon sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata sebagai pemicu utama konflik.

"Kami telah memberikan tenggat waktu hingga Januari untuk penarikan pasukan Israel, tetapi mereka memperpanjangnya hingga 18 Februari. Sejak saat itu, tentara Israel tetap berada di lima lokasi di dalam wilayah Lebanon dan terus melakukan serangan mematikan dengan alasan menyerang target Hezbollah," ujar Nawaf Salam

Presiden Lebanon, Joseph Aoun, turut mengutuk tindakan Israel. "Upaya untuk menciptakan ketidakstabilan di Lebanon dan memicu kekerasan harus segera dihentikan," tegas Aoun dalam pernyataannya.

Melansir Al Jazeera, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa serangan ini adalah "tanggapan atas serangan roket ke Israel". Netanyahu menegaskan bahwa pemerintah Lebanon bertanggung jawab atas "semua yang terjadi di dalam wilayahnya".

Situasi ini telah memicu kekhawatiran internasional. Andrea Tenenti, juru bicara Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL), menyatakan kepada Al Jazeera bahwa "situasi saat ini sangat mengkhawatirkan." Tenenti menambahkan bahwa negosiasi intensif sedang berlangsung dengan berbagai pihak untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.

"Kami telah menyerukan semua pihak untuk menahan diri secara maksimal," ujar Tenenti. "Kami ingin mencegah meningkatnya ketegangan dan konflik yang tidak diinginkan setelah 16 bulan konflik di kawasan ini."

Sultan Barakat, analis politik dari Hamad Bin Khalifa University di Doha, memperingatkan bahwa "selama okupasi Israel terus berlanjut, perlawanan akan terus berlanjut."

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)