Ilustrasi cash on delivery (COD). Foto: briteindonesia.com
Husen Miftahudin • 5 September 2025 00:23
Jakarta: Transaksi cash on delivery (COD) atau bayar di tempat masih menjadi fenomena penting dalam dunia perdagangan daring (e-commerce) di Indonesia. Di tengah masifnya penggunaan layanan pembayaran digital, jutaan konsumen tetap mengandalkan metode ini sebagai pilihan utama. Alasan utamanya adalah rasa aman karena pembayaran baru dilakukan setelah barang diterima.
Namun, di sisi lain, metode COD menyimpan sejumlah masalah serius. Dari tingginya angka pengembalian barang, penolakan pembeli, hingga biaya operasional tambahan yang harus ditanggung penjual maupun kurir. Kondisi ini menimbulkan perdebatan panjang: apakah COD sebuah kemajuan karena menjembatani konsumen, atau justru kemunduran di era serba digital?
Platform agregator ekspedisi dan logistik, Lincah.id, mencatat lebih dari 90 persen transaksi di berbagai platform e-commerce masih menggunakan COD. Sayangnya, proses ini sering kali rumit. Kurir harus janjian dengan pembeli, menghadapi penolakan, hingga barang harus diretur.
"Bahkan angka kejadian pembeli iseng ini cukup tinggi, mencapai sekitar 25 persen dari seluruh transaksi," ungkap CEO Lincah.id Yudha Trisna dikutip dari keterangan tertulis, Kamis 4 September 2025.
Menurut Yudha, retur barang akibat adanya order fiktif hingga pembeli iseng sangat merugikan bagi pelaku usaha kecil. Kondisi ini memperlihatkan sistem COD bukan sekadar soal pilihan transaksi, melainkan soal bagaimana ekosistem e-commerce mampu mengelola risiko dengan baik.
"COD sebenarnya bukan hambatan, melainkan tantangan untuk dikelola dengan lebih cerdas," tegas Yudha.
Baca juga: Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Tembus Rp40 Triliun, Setoran E-commerce Paling Gede! |