Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha. Foto: Metrotvnews.com
Fajar Nugraha • 16 December 2024 14:03
Jakarta: Masalah penipuan online atau online scam makin menjerat di masyarakat Indonesia saat ini. Tak kurang banyak warga negara Indonesia (WNI) bahkan mencari pekerjaan ke Kamboja bergabung perusahaan yang mengoperasikan online scam.
Untuk keberadaan WNI yang ada di Kamboja, Kementerian Luar Negeri dan KBRI Phnom Penh mencatat memang ada lonjakan jumlah WNI yang ada di Kamboja.
“Berdasarkan lapor diri di KBRI Phnom Penh di tahun 2020 ada 2.330 WNI yang tercatat lapor diri. Di tahun 2023 melonjak menjadi 17.212. Berarti ada lonjakan 638% antara tahun 2020 hingga tahun 2023. Tapi tadi kami sampaikan bahwa angka 17.212 ini adalah WNI yang lapor diri,” Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu RI, Judha Nugraha, di Kantor Kemenlu RI, Jakarta, Senin 16 Desember 2024.
“Artinya di luar sana kemungkinan ada sangat banyak WNI kita yang tidak lapor diri. Berdasarkan data imigrasi yang disampaikan oleh imigrasi Kamboja di tahun 2023 ada lebih dari 89.000 WNI yang tercatat memiliki izin tinggal. Kemudian berdasarkan data imigrasi Kamboja juga tercatat hingga bulan September 2024 ada 123.000 WNI kita yang berkunjung ke Kamboja,” imbuh Judha.
“Ini ada peningkatan 32% dibanding tahun lalu. Dari sisi jumlah kasusnya juga meningkat. Tercatat ada 2.321 kasus yang ditangani KBRI Penompen ini meningkat 122,3?ri angka tahun sebelumnya,” sebut Judha.
Judha menjabarkan bahwa dari 2.321 kasus itu 1.761 diantaranya atau 77% merupakan kasus-kasus yang terkait dengan penipuan online. Ini memberikan gambaran mengenai magnitude kasus-kasus terutama yang terkait dengan penipuan online di Kamboja.
“Kami melihat ada kecenderungan normalisasi industri penipuan online ini menjadi sebuah bentuk mata pencarian baru,” tegas Judha.
“Kami melihat bahwa beberapa layanan iklan lowongan kerja ke luar negeri yang terkait dengan online scam yang dahulu itu menggunakan modus penipuan menawarkan bekerja sebagai customer service atau sebagai marketing dengan gaji 1.000 sampai 1.200 USD (atau sekitar Rp16-19 juta),” kata Judha.
“Namun mereka berakhir disana dipaksa untuk melakukan screening. Kami melihat ada beberapa iklan yang sudah terus terang menyampaikan menawarkan bekerja sebagai scammer (pelaku penipuan),” ucapnya.
Kemenlu juga mencatat kasus yang sedang ditangani dari pengakuan pihak keluarga bahwa yang bersangkutan memang berangkat sudah ditawari sejak awal bekerja sebagai scammer.
Jadi ini salah satu indikasi yang dapat dilihat bahwa industri ini berkembang dan kemudian menjadi sebuah bentuk mata pencarian baru. Dan tentunya perlu ada langkah-langkah koordinatif yang sangat urgent dilakukan di seluruh stakeholder yang ada di Indonesia untuk bisa mencegah hal ini dapat berkembang lebih besar lagi.