Ilustrasi. Foto: Dokumen Kementerian Keuangan
M Ilham Ramadhan Avisena • 26 December 2024 11:03
Jakarta: Pemerintah Indonesia dinilai gagal mengatasi deindustrialisasi dini dan membiarkan utang membengkak tanpa kendali.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini memberikan catatan terhadap pengelolaan ekonomi Indonesia.
Dalam catatan akhir tahun itu, Didik menyatakan, tanpa reformasi besar-besaran, target
pertumbuhan ekonomi delapan persen hanya akan menjadi ilusi politik.
"Sektor industri kita sedang sekarat. Selama bertahun-tahun, pertumbuhan sektor ini hanya sekitar 3-4 persen, jauh di bawah target yang diperlukan untuk menopang ekonomi. Pemerintah selama ini abai terhadap sektor ini, sehingga wajar jika target pertumbuhan tujuh persen di era Jokowi meleset jauh, apalagi bicara delapan persen di pemerintahan berikutnya," kata Didik dilansir Media Indonesia, Kamis, 26 Desember 2024.
Dia menilai, deindustrialisasi dini sebagai akar masalah. Ia mengusulkan strategi reindustrialisasi berbasis sumber daya alam yang berorientasi ekspor, seperti yang pernah sukses dilakukan Indonesia di era 1980-an dan awal 1990-an.
"Tanpa strategi resource-based industry yang outward-looking, mustahil kita bisa mencapai pertumbuhan tinggi. Apa yang kita saksikan saat ini adalah stagnasi yang tidak menawarkan jalan keluar," terang Didik.
(2).jpeg)
Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Utang meroket
Dia juga mengkritisi utang pemerintah yang terus meroket. Total utang per September 2024 mencapai Rp8.473,90 triliun, dengan rasio terhadap PDB melonjak dari 26 persen pada 2010 menjadi 38,55 persen di 2024.
"Ini mencerminkan politik anggaran yang tidak sehat. Pemerintah terlalu gemar berutang, mengikuti teori ‘budget maximizer’ tanpa kontrol dan mekanisme checks and balances yang memadai," ungkap Didik.
Tingginya suku bunga obligasi utang Indonesia juga menjadi sorotan tajam. Tingkat bunga yang ditawarkan Indonesia di kisaran 7,2 persen, menjadi yang tertinggi di ASEAN.
Bunga tersebut jauh di atas Thailand (2,7 persen), Vietnam (2,8 persen), dan Malaysia (3,9 persen).
“Ini jelas menguras pajak rakyat. Setiap tahun, kita harus membayar bunga utang sebesar Rp441 triliun, hanya untuk memenuhi nafsu utang pemerintah,” ujar Didik.
Lebih jauh, Didik menyoroti alokasi belanja negara yang semakin tidak produktif. Porsi belanja nonproduktif seperti belanja pegawai dan barang meningkat dari 34 persen pada 2014 menjadi 36 persen di 2024, sementara belanja produktif terus menyusut.
"Dampaknya tidak hanya terasa sekarang, tetapi juga akan membebani pemerintahan mendatang. Struktur anggaran kita semakin tidak sehat," ucap Didik.
Didik juga mengkritik lambannya diversifikasi pasar ekspor Indonesia, yang masih terlalu bergantung pada pasar tradisional seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Menurutnya, pemerintah harus lebih agresif menjangkau pasar baru di Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin.
"Ini pekerjaan yang tidak bisa ditunda jika kita ingin memperbaiki neraca dagang yang stagnan," tutur Didik.
Dia juga menekankan, janji-janji politik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa strategi yang jelas adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.
"Pengelolaan ekonomi yang lemah ini hanya akan menciptakan retorika tanpa substansi. Pemerintah harus berani melakukan reformasi besar-besaran, terutama di sektor industri dan fiskal," ungkap Didik.