Kejaksaan Agung. Foto: MI
Jakarta: Pengamat Kepolisian menilai Polri dan Kejaksaan tengah menimbun masalah. Hal itu menyusul tidak adanya penjelasan yang terang benderang terkait kasus penguntitan Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah oleh anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
"Itulah pentingnya penjelasan oleh elit kepolisian maupun Kejaksaan terkait penguntitan tersebut, agar tak muncul kasus serupa ke depan. Itu kalau Polri maupun kejaksaan tak ingin menyimpan bara dalam sekam. Artinya para elit sedang menimbun masalah," kata Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto kepada Medcom.id, Jumat, 31 Mei 2024.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin telah bertemu dan bersalam-salaman saat menghadiri kegiatan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin, 27 Mei 2024. Pertemuan Kapolri dan Jaksa Agung itu dipandang hanya seremonial, tak pernah menyelesaikan substansi masalah.
"Publik tentu sangat berharap kedua institusi penegak hukum bekerja profesional dan transparan, tidak saling telikung dan tentu saja tidak sedang bareng-bareng menutup-nutupi sebuah masalah," ungkap Bambang.
Dengan tidak adanya penjelasan yang terang, kata Bambang, wajar saja muncul asumsi publik bahwa penguntitan tersebut dalam rangka mengintervensi kasus hukum yang sedang dilakukan Jampidsus. Banyak kasus ditangani Jampidus Kejagung Febrie Adriansyah, salah satunya korupsi timah dengan 22 tersangka dan nilai kerugian keuangan negara Rp300 triliun.
Selain itu, Febrie dilaporkan ke KPK atas kasus dugaan korupsi pelaksanaan lelang barang rampasan benda sita korupsi berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (GBU) yang digelar Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung. Menurut Bambang, bila Jampidsus melakukan pelanggaran tentu harus dipisahkan dengan kasus yang ditangani oleh lembaga.
"Kasus personal tentunya tak bisa ditarik menjadi persoalan institusi," ujar Bambang.
Di samping itu, penguntitan Jampidus dipandang menjadi ancaman bagi masyarakat dari rasa aman dan nyaman. Sebab, pejabat negara selevel Jampidsus saja bisa dimata-matai, apalagi masyarakat sipil biasa.
"Pola-pola seperti itu tentu bisa diidentifikasi sebagai bentuk fasisme yang jauh dari praktik demokrasi apalagi Pancasila," pungkas Bambang.
Penguntitan Febrie Adriansyah terjadi di salah satu restoran Prancis di Cipete, Jakarta Selatan, pada Minggu malam, 19 Mei 2024. Salah satu anggota Densus, Bripda Iqbal Mustofa ditangkap polisi militer yang mengawal Febrie dan dibawa ke Gedung Kejagung, Jakarta Selatan.
Bripda Iqbal menyamar sebagai karyawan BUMN saat menguntit Febrie Adriansyah. Dari ponselnya pun diketahui Iqbal telah memprofiling Febrie. Bahkan, dia sempat memotret Febrie saat makan malam.
Polri dan Kejaksaan telah membenarkan indisen itu. Namun, Polri tak menjelaskan detail. Hanya membenarkan Penguntitan tanpa menjelaskan motif dan sosok yang memerintahkan. Apalagi pihak Kejagung selaku korban.
Sementara itu, Bripda Iqbal Mustofa telah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri. Hasilnya, tidak ada permasalahan dan pria 24 tahun itu dibebaskan tanpa diberikan sanksi baik etik, disiplin, dan pidana.