Kemenlu Tegaskan Indonesia Tidak Akui Klaim Nine Dash Line Tiongkok

Indonesia dan Tiongkok sepakati kerja sama maritim. Foto: BPMI Setpres.

Kemenlu Tegaskan Indonesia Tidak Akui Klaim Nine Dash Line Tiongkok

Fajar Nugraha • 11 November 2024 10:57

Jakarta: Selama kunjungan kenegaraan ke Tiongkok, Presiden Prabowo Subianto menyepakati kerja sama maritim dengan Presiden Xi Jinping. Namun kerja sama ini tidak dapat diartikan sebagai pengakuan Indonesia terhadap klaim Nine Dash Line dari Tiongkok di Laut China Selatan.

Menurut Kementerian Luar Negeri, kerja sama ini diharapkan dapat menjadi suatu model upaya memelihara perdamaian dan persahabatan di Kawasan. Diharapkan aspek ekonomi akan mencakup sebagai kerja sama yang utama.

Kerja sama ekonomi itu khususnya di bidang perikanan dan konservasi perikanan di Kawasan dengan berdasarkan kepada prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan. 

“Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim “9-Dash-Lines”. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” tegas pihak Kemenlu, dikutip dari situ Kemlu.go.id, Snein 11 November 2024.

“Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara,” imbuh pernyataan itu.

“Indonesia juga meyakini bahwa kerja sama tersebut akan mendorong penyelesaian Code of Conduct in the South China Sea yang dapat menciptakan stabilitas di kawasan,” sebut pernyataan tersebut.

Adapun penegasan kerja sama ini sejalan dengan semangat Declaration of the Conduct of the Parties in the South China Sea yang telah disepakati oleh negara-negara ASEAN dan Tiongkok di tahun 2002 serta upaya untuk menciptakan perdamaian di kawasan Laut China Selatan, Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk membentuk kerja sama maritim.

Kerja sama ini juga akan dilaksanakan dalam koridor ketentuan undang-undang dan peraturan negara masing-masing. Bagi Indonesia, tentunya kerja sama ini harus dilaksanakan berdasarkan sejumlah undang-undang dan peraturan yang terkait, termasuk yang mengatur kewilayahan; undang-undang ratifikasi perjanjian  internasional kelautan, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982; maupun ratifikasi perjanjian bilateral tentang status hukum perairan atau pun delimitasi batas maritim; peraturan tentang tata ruang laut serta konservasi dan pengelolaan perikanan, perpajakan dan berbagai ketentuan lainnya.

Selain itu, semua kewajiban internasional dan kontrak-kontrak lainnya yang dibuat Indonesia yang berkaitan dengan kawasan tersebut akan tidak terpengaruh dan akan terus berlaku tanpa perubahan. 


Kontroversi

Sebelumnya, kesepakatan kerja sama ini mendapat sorotan dari para pengamat hukum internasinal. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Hikmahanto Juwana menyoroti butir 9 kesepakatan kerja sama Indonesia-Tiongkok yang berbunyi “kedua pihak akan bersama-sama menciptakan lebih banyak titik terang dalam kerja sama maritim,” disebutkan bahwa kedua “pihak telah mencapai pemahaman penting dalam pengembangan bersama di area-area yang terdapat klaim timpang tindih.”
 
Baca: Hikmahanto Pertanyakan Dampak Geopolitik dari Kerja Sama Maritim RI-Tiongkok.


Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh Tiongkok yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?

“Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Tiongkok atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” ujar Hikmahanto.

Untuk diketahui, hingga berakhirnya pemerintahan Joko Widodo, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak sepuluh (dahulu sembilan) Garis Putus dari Tiongkok. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLO, di mana Indonesia dan Tiongkok adalah negara peserta.

Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada 2016 telah menegaskan klaim sepihak Tiongkok tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.

Namun dengan adanya pernyataan gabungan Prabowo-Xi pada 9 November, kata Hikmahanto, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak Tiongkok atas Sepuluh Garis Putus. Ia menekankan bahwa pengembangan bersama hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling berktumpang tindih.

“Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan Indonesia, di mana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan Tiongkok,” tutur Hikmahanto.

Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok.  Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan, terlebih lagi memunculkan ide pengembangan bersama dengan Tiongkok.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)