Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. (MI/ Immanuel Antonius)
Willy Haryono • 11 November 2024 08:59
Jakarta: Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Tiongkok Xi Jinping telah mengeluarkan pernyataan gabungan pada 9 November lalu.
Dalam butir 9 yang berbunyi “kedua pihak akan bersama-sama menciptakan lebih banyak titik terang dalam kerja sama maritim,” disebutkan bahwa kedua “pihak telah mencapai pemahaman penting dalam pengembangan bersama di area-area yang terdapat klaim timpang tindih.”
Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh Tiongkok yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?
“Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Tiongkok atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Senin, 11 November 204.
Untuk diketahui, hingga berakhirnya pemerintahan Joko Widodo, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak sepuluh (dahulu sembilan) Garis Putus dari Tiongkok. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLO, di mana Indonesia dan Tiongkok adalah negara peserta.
Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada 2016 telah menegaskan klaim sepihak Tiongkok tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.
Namun dengan adanya pernyataan gabungan Prabowo-Xi pada 9 November, kata Hikmahanto, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak Tiongkok atas Sepuluh Garis Putus. Ia menekankan bahwa pengembangan bersama hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling berktumpang tindih.
“Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan Indonesia, di mana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan Tiongkok,” tutur Hikmahanto.
Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok. Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan, terlebih lagi memunculkan ide pengembangan bersama dengan Tiongkok.
Menurut Hikmahanto, bila memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara, maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Terlebih lagi bila pengembangan bersama ini benar-benar direalisasikan, maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar. Bila memang benar Indonesia hendak melakukan pengembangan bersama dengan pemerintah Tiongkok, maka ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan.
Hikmahanto menilai, negara-negara yang berkonflik dengan Tiongkok sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam, akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukannya tidak mungkin memicu ketegangan diantara negara ASEAN.
“Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak Tiongkok karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional seperti Amerika Serikat dan Jepang, yang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia. Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan,” ungkap Hikmahanto
“Bila joint development dengan Tiongkok di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan, maka yang justru mendapat keuntungan besar adalah Tiongkok,” sambungnya.
“Bahkan China bisa mengeklaim bahwa Indonesia telah jatuh di tangannya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada dibelakang negara adidaya yang sedang berkompetisi,” pungkas Hikmahanto.
Baca juga: Perkuat Laut Natuna Utara, TNI AL akan Tempatkan Kapal Patroli Buatan Italia