Ilustrasi Mangga Dua. Foto: Dok TripAdvisor
Naufal Zuhdi • 22 April 2025 15:55
Jakarta: Kementerian Perindustrian merespons isu barang bajakan di Mangga Dua, Jakarta, yang disorot Amerika Serikat (AS) dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers. Dalam laporannya, AS menyoroti pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI), barang bajakan dan hambatan dagang yang masih mengganggu akses pasar perusahaan AS di Tanah Air.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief mengatakan Kemenperin telah berinisiatif memasukkan syarat sertifikat merek yang harus dimiliki oleh importir ketika meminta rekomendasi impor.
Inisiatif tersebut diwujudkan dalam bentuk Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 5 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Tekstil, Produk Tekstil, Tas, dan Alas Kaki. Melalui Permenperin tersebut, importir yang tidak memiliki sertifikat merek tidak akan mendapatkan rekomendasi impor dari Kemenperin ketika mengimpor produk TPT, tas dan alas kaki.
“Kemenperin telah menerbitkan Permenperin No. 5 Tahun 2024 yang mensyaratkan importir harus memegang sertifikat merek dari pemegang merek ketika mereka meminta Pertek (Pertimbangan Teknis) sebagai bagian pemenuhan syarat PI (Permohonan Impor) Kemendag. Tujuannya, adalah menyaring dan mencegah agar barang bajakan tidak diimpor masuk ke pasar domestik Indonesia,” kata Febri dalam keterangan resmi, Selasa, 22 April 2025.
Namun sayangnya, lanjut Febri, regulasi tersebut tidak disukai “importir nakal” yang ingin mengimpor barang bajakan masuk Indonesia. Kebijakan ini juga kurang mendapat dukungan oleh kantor K/L (Kementerian/Lembaga) lain. Dengan demikian, ketiadaan regulasi yang mewajibkan importir harus memiliki sertifikat merek dari prinsipal atau pemegang merek atas barang yang diimpor akan membuat barang bajakan tersebut masuk dengan mudah ke Indonesia.
“Sayangnya Permenperin No. 5 Tahun 2024 tersebut berumur pendek dan tidak berlaku lagi karena Permendag No. 36 Tahun 2024 sebagai dasar terbitnya regulasi tersebut tiba-tiba diubah oleh kantor K/L lain menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024 pada bulan Mei 2024. Akibatnya, tidak ada kewajiban importir untuk menyampaikan sertifikat merek dari prinsipal ketika mereka mengajukan permohonan impor pada Kemendag dan Kemenperin. Padahal sertifikat merek yang dipegang oleh importir adalah penyaring utama agar barang bajakan tidak diimpor masuk ke pasar domestik Indonesia oleh importir terutama importir umum,” papar Febri.
Kemenperin, sambungnya, menilai upaya pengawasan dan penindakan peredaran barang bajakan di pasar domestik tidak akan berjalan efektif mengingat besarnya volume impor barang bajakan dan luasnya pasar domestik Indonesia. Selain itu, delik aduan sebagai awal dan dasar penindakan juga sulit dipenuhi karena sebagian besar prinsipal atau pemegang merek berada di luar negeri.
“Bagaimana mungkin menindak barang bajakan yang sudah beredar dalam volume besar di pasar domestik yang besar ini? Apalagi kalau hal tersebut harus dengan delik aduan? Bukankah lebih baik mencegah barang bajakan masuk lewat regulasi impor atau kebijakan non tariff barrier/non tariff measure daripada mengawasinya di pasar domestik? Apalagi barang bajakan yang ada di e-commerce yang masuk melalui PLB. Siapa yang mengawasi? Kami belum pernah mendengar ada pengawasan dan penindakan barang bajakan di e-commerce atau di PLB,” ujar Febri.
Baca juga:
Barang ''KW'' di Pasar Mangga Dua Jadi Sorotan Amerika Serikat |