Tentara Israel menghancurkan patung Santo George di Lebanon selatan. Foto: Anadolu
Fajar Nugraha • 15 April 2025 11:54
Beirut: Tentara Israel menghancurkan patung Santo George di Lebanon selatan saat umat Kristen merayakan Minggu Palma, menurut laporan media Lebanon. Kantor berita pemerintah NNA melaporkan pada hari Minggu bahwa patung tersebut dihancurkan di kota perbatasan Yaroun, dalam pelanggaran terbaru terhadap perjanjian gencatan senjata November lalu.
Mantan Menteri Tenaga Kerja Lebanon Moustafa Bayram membagikan video yang mendokumentasikan penghancuran tersebut.
“Tentara Israel tanpa malu-malu mendokumentasikan tindakan tersebut, menegaskan kembali permusuhannya terhadap apa pun selain dirinya sendiri," ujar Bayram, dikutip dari Anadolu, Senin, 14 April 2025.
Gencatan senjata yang rapuh telah diberlakukan di Lebanon sejak November 2024, mengakhiri perang lintas batas antara Israel dan kelompok Hizbullah Lebanon.
Pihak berwenang Lebanon melaporkan lebih dari 1.440 pelanggaran Israel terhadap gencatan senjata, termasuk kematian sedikitnya 125 korban dan 371 korban luka-luka.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya menarik diri sepenuhnya dari Lebanon selatan pada 26 Januari, namun tenggat waktu diperpanjang hingga 18 Februari setelah Israel menolak untuk mematuhinya. Israel masih mempertahankan kehadiran militer di lima pos perbatasan.
Ketegangan di perbatasan Lebanon-Israel terus memanas sejak konflik berskala besar September 2024. Penghancuran patung Santo George di tengah perayaan Minggu Palma -,hari suci yang memperingati masuknya Yesus ke Yerusalem,- menambah daftar panjang pelanggaran yang semakin memperburuk hubungan kedua negara.
Insiden simbolis ini terjadi tepat ketika umat Kristiani sedunia merayakan hari raya tersebut, dengan Santo George sebagai salah satu santo pelindung yang paling dihormati.
Sementara pihak Lebanon menuntut pertanggungjawaban atas penghancuran simbol keagamaan ini, tentara Israel tetap bungkam dan tidak memberikan komentar terkait laporan tersebut.
Situasi perbatasan yang sudah rapuh pasca konflik September lalu semakin berpotensi mengalami eskalasi, mengingat serangkaian pelanggaran gencatan senjata yang terus terjadi di wilayah tersebut.
Insiden terbaru ini tidak hanya memperuncing ketegangan politik, tetapi juga menyentuh sensitivitas agama di kawasan yang sudah rentan konflik.
(Muhammad Adyatma Damardjati)