Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq di COP30. Istimewa
Brasil: Delegasi Indonesia tampil aktif di panggung Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém, Brasil. Di bawah komando Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq, tim negosiator Indonesia bekerja intens di balik layar memperjuangkan tujuh agenda utama yang menyangkut kepentingan nasional dan negara berkembang.
Langkah ini menandai pergeseran strategi diplomasi Indonesia dari sekadar partisipan menjadi pemimpin substantif dalam pembahasan kebijakan iklim global.
“Kami tidak datang untuk meramaikan, kami datang untuk berunding. Setiap pasal yang dinegosiasikan akan berdampak pada rakyat dan lingkungan kita,” tegas Hanif di sela perundingan.
Empat Agenda Krusial Indonesia di COP30
1. Global Stocktake (GST): Menagih Janji dan Tanggung Jawab
Indonesia menegaskan pentingnya evaluasi yang adil terhadap komitmen iklim global. Negara-negara maju diminta memenuhi tanggung jawab historisnya melalui pendanaan dan transfer teknologi, bukan sekadar laporan capaian emisi.
2. National Adaptation Plans (NAPs): Benteng Pertahanan dari Dampak Iklim
Sebagai negara kepulauan yang rentan, Indonesia mendorong adanya mekanisme pendanaan yang mudah diakses untuk mendukung proyek adaptasi konkret, seperti perlindungan pesisir dan ketahanan pangan nasional.
3. Just Transition (Transisi yang Berkeadilan): Ekonomi Hijau Tanpa PHK
Indonesia menekankan pentingnya transisi energi bersih yang berkeadilan, dengan perlindungan bagi pekerja sektor lama melalui pelatihan ulang (reskilling) dan penciptaan lapangan kerja hijau baru.
4. Global Goal on Adaptation (GGA): Target Adaptasi yang Terukur
Indonesia mendorong kesepakatan global terkait target adaptasi yang jelas, sepadan dengan target mitigasi 1,5°C. Dengan target terukur, mobilisasi sumber daya global dapat diarahkan secara efektif untuk memperkuat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.
Empat agenda utama ini, bersama tiga isu teknis lainnya, menjadi fokus diplomasi Indonesia di COP30. Keberhasilan perundingan akan menentukan besarnya dukungan internasional bagi pelaksanaan agenda iklim nasional.
"Sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin iklim yang diperhitungkan di forum global," kata Hanif.