Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. Foto: EFE-EPA
Fajar Nugraha • 6 February 2025 16:19
Washington: Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Marco Rubio memutuskan untuk tidak menghadiri pertemuan puncak Kelompok 20 (G20) mendatang di Afrika Selatan. Alasannya karena Afrika Selatan menerapkan agenda anti-Amerika.
Keputusan itu diambilnya di tengah meningkatnya pertikaian antara Washington dan Pretoria atas undang-undang perampasan tanah yang kontroversial.
Pengumuman Rubio pada Rabu muncul beberapa hari setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan memotong bantuan ke Afrika Selatan atas pengesahan undang-undang yang mengizinkan perampasan tanah tanpa kompensasi dalam keadaan tertentu.
Afrika Selatan, yang memegang jabatan Presiden G20 hingga November 2025, akan menjadi tuan rumah pertemuan para menteri luar negeri dari 20-21 Februari di Johannesburg.
“Afrika Selatan melakukan hal-hal yang sangat buruk. Merampas hak milik pribadi. Menggunakan G20 untuk mempromosikan ‘solidaritas, kesetaraan, [dan] keberlanjutan.’ Dengan kata lain: DEI dan perubahan iklim,” kata Rubio dalam sebuah posting di X, seperti dikutip Al Jazeera, Kamis, 6 Februari 2025.
“Tugas saya adalah memajukan kepentingan nasional Amerika, bukan membuang-buang uang pembayar pajak atau memanjakan anti-Amerikanisme,” ucap Rubio.
Pengumuman Rubio disambut dengan cemas oleh para kritikus pemerintahan Trump.
“Pertunjukan kelemahan ini merugikan keamanan dan ekonomi nasional kita sekaligus menguntungkan Tiongkok,” kata Andrew Bates, yang menjabat sebagai wakil sekretaris pers senior Gedung Putih di bawah pemerintahan mantan Presiden AS Joe Biden, dalam sebuah posting di X.
“Jika Anda tidak berada di meja perundingan, Anda akan menjadi sasaran,” imbuh Bates.
Pada Senin, Trump menuduh pemerintahan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa “menyita tanah” dan menganiaya “kelompok orang tertentu”, yang memicu bantahan dari Pretoria.
Ramaphosa mengatakan, undang-undang tersebut bukanlah "instrumen penyitaan" tetapi bagian dari "proses hukum yang diamanatkan oleh konstitusi" yang akan memastikan akses publik terhadap tanah dengan "cara yang adil dan setara".
Berdasarkan undang-undang yang ditandatangani oleh Ramaphosa bulan lalu, pemerintah dapat menyita tanah tanpa kompensasi jika "adil dan setara serta untuk kepentingan publik", seperti dalam kasus properti yang tidak digunakan, dan tidak dapat mencapai kesepakatan dengan pemiliknya.
Ramaphosa dan Kongres Nasional Afrika (ANC)-nya telah membela undang-undang tersebut sebagai hal yang diperlukan untuk mengurangi kesenjangan besar dalam kepemilikan tanah yang berasal dari warisan sistem apartheid yang rasis.
Pemerintah belum mengambil alih tanah apa pun berdasarkan undang-undang tersebut.
Aliansi Demokratik (DA), partai oposisi utama Afrika Selatan dan anggota pemerintah persatuan nasional yang dipimpin ANC, telah menentang undang-undang tersebut, dengan memperingatkan bahwa undang-undang tersebut merusak hak milik dan dapat menakuti investasi asing.
Namun, DA, yang memperoleh sebagian besar dukungannya dari warga kulit putih, India, dan Afrika Selatan Berwarna (multiras), telah menyatakan "kekhawatiran mendalam tentang ancaman Trump untuk memangkas bantuan dan mengatakan bahwa merupakan kesalahpahaman bahwa tanah dapat disita secara sewenang-wenang".
Kepemilikan tanah merupakan isu yang sensitif dan memecah belah di Afrika Selatan karena sejarah orang kulit hitam yang dipaksa meninggalkan tanah mereka dan ditolak aksesnya ke properti.
Meskipun warga kulit hitam Afrika Selatan mencakup lebih dari 80 persen populasi, mereka hanya memiliki 4 persen lahan pertanian milik pribadi, menurut audit pemerintah yang dilakukan pada 2017.
Warga kulit putih Afrika Selatan, yang sebagian besar merupakan keturunan pemukim Inggris dan Belanda, menguasai sekitar tiga perempat lahan meskipun hanya mencakup sedikit lebih dari 7 persen populasi.
Ancaman Trump untuk memangkas pendanaan ke negara Afrika tersebut muncul ketika pemerintahannya telah membekukan hampir semua bantuan asing dan menempatkan sebagian besar staf Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) pada cuti administratif.
Washington mengalokasikan sekitar USD440 juta dalam bentuk bantuan kepada Afrika Selatan pada tahun 2023, menurut data pemerintah terbaru.