Ilustrasi. Media Indonesia.
Media Indonesia • 30 July 2025 07:13
PERISTIWA pembubaran aktivitas ibadah disertai perusakan rumah doa umat Kristen yang terhimpun dalam Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang di daerah Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar), Minggu, 27 Juli 2025, kembali mengingatkan betapa rentannya harmoni umat beragama di tengah masyarakat Indonesia. Insiden tersebut juga mengungkapkan fakta betapa masih mengakarnya sikap intoleransi di berbagai sudut negeri ini.
Terkhusus di Kota Padang, aksi intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan kali pertama. Pada 2021, pernah terjadi pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi nonmuslim di SMK 2 Padang. Selanjutnya, pada 2023, jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Lubuk Begalung, Kota Padang, mengalami intimidasi dan pembubaran saat sedang melaksanakan ibadah.
Sungguh ironis, kejadian yang dilandasi semangat intoleransi di Sumbar kerap terjadi. Padahal Ranah Minang, julukan Sumbar, telah lama dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, toleransi, dan kehidupan beragama yang damai.
Meskipun dikenal memiliki prinsip yang kuat dalam beragama, masyarakat Sumbar merupakan masyarakat yang terbuka. Bahkan Sumbar juga merupakan salah satu proyek percontohan dan keteladanan hidup bertoleransi. Intoleransi sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai masyarakat Minangkabau yang menjunjung tinggi prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
.Oleh karena itu, pemerintah daerah di Sumbar punya pekerjaan rumah besar. Penindakan tegas kepada para pelaku kekerasan harus dilakukan. Namun, lebih dari itu, pemerintah daerah harus mendalami dan menggali lebih dalam penyebab munculnya sikap intoleransi tersebut. Harus dicari akarnya. Jangan sampai penanganan insiden ini justru memicu persepsi bahwa Sumbar sebagai wilayah yang intoleran.
Baca juga: 9 Orang Ditangkap Pascainsiden Perusakan Rumah Doa Gereja Kristen Setia Indonesia di Padang |